Kamis, 26 Februari 2009

embek

Sabtu, 11 mei 2002. Entah berapa lama hari itu telah berlalu. Tapi tak sedikitpun pernah ia lupakan apa yang terjadi di hari itu dan hari hari berikutnya, karena hari itu mungkin adalah sebuah awal baru dari hidup baginya.
Pagi buta telah membangunkannya dari tidur. Dilihatnya jarum jam menunjuk pada ngka delapan. Ia pun mulai bergegas menaiki motornya ke arah sekolah yang berjarak kurang lebih 2KM dari tempatnya.
Matanya mulai sibuk melihat kelas barunya, juga puluhan anak yang tak pernah ia kenal sebelumnya karena hari ini adalah hari pertamanya kepindahannya setelah dua kali dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. Seperti kebanyakan hari pertamanya, selalu saja ada orang orang brengsek yang mulai mencari masalah dengannya. Begitu juga dengan seorang anak yang meludahi baju putihnya. Sebut saja namanya Soni. Ia memang bukan seorang jagoan, tapi Ia pun juga tak akan sungkan menghajar Soni yang bertubuh dua kali lebih besar darinya. Memang Soni adalah anak yang paling ditakuti semua murid di sekolah itu. Tapi sebenarnya apa yang terjadi hari itu bukanlah inti dari kisah ini, melainkan hanya sekedar pembuka seperti apa yang biasanya ada dalam cerita novel lainnya.
Senin, 13 mei 2002. Ini hari kedua Ia masuk sekolah. Mulai terdengar sapaan lembut dari semua teman yang menyebut namanya. Mungkin Ia terkenal, karena di hari pertamanya Ia sudah menghajar seorang anak yang paling sok di sekolah itu.
Sabtu, 18 mei 2002. Sudah tujuh hari, tapi tak ada yang membuat dia merasa istimewa tinggal di sekolah itu. Dalam hati Ia berpikir untuk bolos saja hari itu. Maka Ia pun mulai melangkahkan kakinya ke parkiran yang terletak agak jauh di belakang kelasnya. Tapi langkahnya terhenti saat matanya terantuk pada seorang anak berambut sebahu yang membawa gitar bergegas menuju sebuah ruangan. Terbersit rasa penasaran dalam hatinya. Ia pun mulai mengikuti langkah si gadis bergitar yang berjalan menuju ruangan tersebut. Dari luar Ia mendengar suara lembut si gadis bergitar yang membaca sebuah puisi diiringi dentingan gitar yang tak pernah sekalipun berhenti. 20 menit berselang. Tapi si gadis bergitar masih belum juga terlihat ingin keluar. Ia pun masih melihat dan mendengar apa yang selama ini si gadis bergitar lakukan.
Satu jam, dua jam… Tak terasa ia telah tertidur diluar ruangan menunggu si gadis bergitar. Ketika Ia mulai bangun dari tempat Ia sandarkan badannya, Ia amati bahwa kini hanya tinggal Ia seorang disana. Tak ada gadis bergitar. Tak ada siapa siapa disana. Dengan langkah perlahan, Ia tuntun langkahnya menuju ruangan yang tadinya ditempati si gadis bergitar. Terlihat puluhan lembar kertas bertulisan tangan si gadis bergitar tercecer di lantai ruangan. Ada juga tulisan lainnya yang tertempel saling tumpang tindih di dinding. Mungkin semua itu hanya puisi, mungkin juga rangkaian kalimat ungkapan hati, atau hanya sekedar coretan fiksi. Apapun itu, tak satu pun dari puisi dari kertas kertas yang Ia baca dapat Ia pahami maksudnya. Mungkin si gadis bergitar terlalu rumit membuatnya, hingga menyusahkan Ia memahami maksudnya. Ia payah sendiri membawa satu per satu tulisan tangan gadis bergitar itu. Maka Ia pun memutuskan untuk mengumpulkan karya karya gadis bergitar misterius itu, lalu menempelkannya saling tumpang tindih disamping tulisan tangan si gadis bergitar yang sudah lebih dulu menempel tak beraturan di dinding. Ditelusurinya satu per satu tulisan tangan gadis bergitar misterius itu, saat tiba tiba saja gadis bergitar itu muncul lagi di ambang pintu. Wajahnya mendadak cerah, namun wajah gadi bergitar misterius itu nampak agak pucat. Entah takut, atau memang kelelahan. Sekarang `kan memang jamnya pulang sekolah.
“Maaf…” katanya sambil pelan pelan meletakkan kertas kertas yang berserakan di atas meja. Ia pun mundur perlahan.
“Nggak papa…” Jawab si gadis bergitar pelan. Senyum tipis terkembang di wajahnya. Tatapan matanya yang semula keras penuh kecurigaan pun sudah agak melunak.
“Aku David”, katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Sekar”, balas gadis bergitar misterius itu, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. “Permisi, aku mau ambil bukuku…” Lanjut gadis bergitar itu sambil meraih buku tipis yang tersimpan di laci meja dibelakang David.
“Duluan ya…” pamit gadis itu akhirnya, setelah sekian lama mereka berdua terdiam disana.
“Iya…” Jawab David akhirnya. Gadis misterius itu tersenyum lagi sekilas, lalu dengan cepat melangkahkan kakinya menuju gerbang depan sekolah, meninggalkan David yang masih terpaku menatap rambut kuncir dua-nya, juga punggungnya yang menggendong gitar akustiknya.
Jumat, 24 mei 2002. Hari ini sekolah bubar lebih cepat dari biasanya. Dengan agak tergesa gesa, David melangkahkan kakinya melewati beberapa teman teman barunya yang sudah menunggu didepan pintu.Beberapa sapaan iseng teman temannya pun hanya ditanggapinya sambil lalu. Dalam hati Ia merasa ada yang lebih penting dari sekedar menanggapi sapaan teman teman preman-nya. Di salah satu ruangan di sekolah ini, ada seorang gadis bergitar yangdari tadi telah menantinya. Gadis bergitar misterius yang selalu menyunggingkan senyum untuknya. Gadis yang sebenarnya tak terlalu spesial, yang kali ini mampu membuatnya merasa spesial tinggal di sekolah ini. Gadis misterius yang mungkin telah membuat David jatuh hati padanya. Gdis yang menaklukkan hatinya dengan kepolosannya yang indah, juga senyum tipis dan dentingan senar senar gitarnya yang terasa ringan memantul mantul memenuhi lorong lorong hatinya yang sepi.
“Maaf agak lama” Kata David akhirnya, saat menatap punggung sekar yang dengan serius memainkan gitar akustiknya membelakangi pintu. Senyum tipis tetap tersungging di wajahnya yang lelah. Sementara jari jari kurusnya masih dengan lincah menari nari diatas senar gitarnya. Rasa lelah yang seharian menekannya pun terasa sirna saat David menatap senyum tipis dan mata sayunya yang selalu memancarkan harapan. Selalu ada kesempatan, bahkan untuk mahluk yang paling hina, begitu selalu katanya. Kata kata yang pernah membuatnya tersenyum saat pertama kali mendengarnya. Entah Sekar polos atau memang bodoh, pikirnya saat itu.
Sabtu, 25 Mei 2002. David sudah menanti dengan gelisah didepan sekolah dari tadi. Sementara matanya tak berhenti mencari sesosok gadis misterius dengan gitar akustiknya yang belum juga datang menghampirinya. 5 menit, 10 menit. Sebentar lagi waktunya masuk sekolah. Apa gadis bergitar misterius itu mengingkari janjinya? Ia pun mulai bosan menunggu. Hampir saja dilajukannya motor kesayangannya, andai saja Ia tak melihat lambaian tangan gadis bergitar yang berlari lari kecil dari kejauhan. Gitar akustik yang selalu setia menemaninya tampak berguncang guncang di belakang punggungnya. Sementara senyum tipi situ masih saja setia menghias wajah pucatnya yang pias.
“Maaf, aku terlambat ya? Memang kita mau kemana? Kenapa harus bolos sekolah? Aku memang nggak terlalu pintar, tapi kan…”
“Ssssh…” potong David. “Kamu sudah ajari aku main gitar. Sekarang aku mau ajari kamu nakal sedikit” tukasnya.
Sekar tak menjawab lagi. Tapi lengan legan kurusnya terasa hangat melingkari pinggang David yang pelan pelan melajukan motornya meninggalkan sekolah.
“Jarimu kasar…” Goda david sambil tertawa pelan.
“Wek!”
Bersamanya, waktu terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa hamper setengah hari David lalui waktu bersamanya. Dengan gaya yang masih agak kaku, Ia memainkan salah satu lagu favoritnya, sambil menatap dalam dalam mata Sekar yang berbinar menatap matanya.
“Sudah waktunya pulang nih. Kayaknya sekolah juga udah bubar deh…” kata Sekar khawatir begitu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan David.
“Nanti sore aja. Aku anterin kamu pulang, sekalian aku jelasin ke orang tua kamu kalo kamu nanti dimarahin” sahut David sambil terus memainkan gitar yang berada di pangkuannya.
Rabu, 29 mei 2002. Ini hari ketiga Ia tidak dapat menemukan Sekar dimana mana. Tidak di ruang music, tidak di kelasnya, tidak juga di kantin sekolah tempat Ia biasa memesan soto atau bakso untuk makan siangnya. Diam diam Ia merindukannya. Merindukan jari jari mungil yang memetik gitar, merindukan bibir yang selalu bercerita tentang banyak hal. Tentang hujan, mawar, musik, bahkan sampai masalah hati. Mungkin aku harus mampir ke rumahnya, pikir David. Maka, begitu bel pulang sekolah menyentuh telinganya, Ia pun langsung melesat cepat meninggalkan sekumpulan teman teman yang sejak jam terakhir tadi menunggunya didepan kelas.
“Maaf ganggu kamu Sekar” sapanya begitu berhenti didepan rumah Sekar yang rindang. Disana ada Sekar yang sedang memetik gitarakstik sambil bergumam pelan, seolah menyanyi untuk dirinya sendiri. Wajahnya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya, namun senyuman itu tak pudar sedikit pun dari bibirnya. Saat melihat kehadirannya, dengan cepat Sekar membukakan pintu gerbang dan mempersilakannya masuk. Suaranya tetap sama, senyum dan matanya juga. Namun ada satu hal yang mungkin tak bisa lagi Ia tutupi lebih lama dari orang orang disekitarnya. Tidak juga dari David…
Senja ini mungkin senja terbaik yang pernah Sekar miliki sepanjang hidupnya. Cahaya matahari yang hampir tenggelam, semilir angin yang perlahan membelai rambutnya, juga seorang sahabat yang dengan hangat mengenggam tangannya.
“Kamu tahu nggak, kalo misal Tuhan izinkan, aku mau semua sisa waktuku dibuat seperti senja ini. Tenang, indah, menyenangkan. Hanya ada aku, kamu dan dunia. Enak deh rasanya…”
“Iya…”
Entah berapa lama waktu yang telah mereka lalui bersama sejak awal perkenalan mereka. Entah sudah berapa banyak cerita meluncur dari bibir mereka. Tak terhitung juga jumlah puisi yang lahir dari jemari kurus Sekar yang tak pernah berhenti memetik gitar akustiknya sambil dengan lirih melagukan puisi puisi yang ditulisnya. Ia selalu menyukai apapun yang keluar dari mulut Sekar. Tak peduli seberapa rumit atau seberapa berat Ia mencoba untuk memahaminya. Ia hanya menyukainya. Tak mau tahu. Dan tak peduli kenapa.
“Kamu tahu nggak, David, apa yang paling aku suka dari kamu? Aku paling suka waktu kamu menyanyi buat aku. Apa saja. Apa saja. Aku suka. Ratusan puisi tercipta buat orang orang disekitarku. Tapi nggak pernah ada seorang pun yang pernah menyanyi untukku. Aku seneng lho, dengernya…”
Itu kata kata terakhir yang Ia dengar sebelum Sekar jatuh ke pangkuannya, sementara darah yang mengental mengalir pelan dari hidungnya. Ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Selasa, 4 juni 2002. Sudah hampir satu minggu ini Ia bolak balik sekolah-rumah sakit hanya untuk menunggui gadis bergitarnya yang kini sedang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya sejak Ia dibawa kemari. Tak ada erangan, keluhan, ataupun makian ketika jarum jarum infus menusuk kulitnya. Tak ada satupun kata kata yang keluar dari bibirnya, bahkan saat kesadarannya yang terbatas pelan pelan terenggut dari dirinya. Hanya senyum tipisnya yang terus menerus mengambang di wajah pucatnya. Sementara David masih dengan setia duduk di samping ranjangnya, memetik pelan senar senar gitar akustiknya sambil lamat lamat menggumamkan sebait lagu atau sebaris doa untuknya. Dalam hati Ia terus berharap, bahwa keajaiban itu akan datang dan menampakkan dirinya, walau hanya sekali di sepanjang hidupnya.
Kamis, 13 juni 2002. Ia masih ada disana. Menggenggam lembut tangan Sekar sambil menatap dalam dalam mata sekar yang mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Tak pernah ada lagi kesunyian dalam kamar itu. Suara alat alat medis yang meemastikan hidupnya tak pernah berhenti bergema dalam ruangan bercat hijau muda itu. Juga denting senar gitar atau cerita cerita basi-nya yang mungkin hanya sanggup membuatnya terus terjaga hingga mungkin satu esok akan datang dan mewujudkan mimpinya.
Senin, 17 Juni 2002.
“David…”
Akhirnya setelah sekian lama, kesadaran itu kembali mengisi keberadaan Sekar disana. Dengan jemari yang masih lemah, Sekar menyentuhkan tangannya dikepala David yang tersandar lelah disisi ranjangnya. Ada sedikit rona bahagia tergambar di wajah pucatnya saat perlahan lahan David mengangkat kepalanya.
“Sekar…” david bergumam setengah tak percaya. Iya, aku berhasil. Aku menang Dave. Aku bisa. Kemarin, hari ini, besok, lusa pun aku bisa. Aku mampu Dave, semua karena kamu…
“Jangan banyak gerak dulu ya… aku panggil dokter dulu…”
Jangan pergi Dave. Kamu disini aja, temenin aku. Aku udah nggak papa kok…
Sekar kembali berusaha bicara, namun tak sedikitpun suara keluar dari tenggorokannya. Mendadak rasa lelah yang amat sangat mendera dirinya.
Rabu, 26 juni 2002. Senja hari itu terasa begitu indah. Dengan gitar akustiknya, seorang perawat yang ramah, dan suasana taman yang menyenangkan, Sekar merasa kembali menemukan eksistensi dirinya. Tadi siang, teman teman sekolahnya datang menjenguk. David juga ada disana. Menatapnya dengan tatapan yang member semangat. Ia percaya, bahwa Sekar akan sembuh. Setelah itu, mereka akan kembali berpetualang seperti dulu. Di ruang musik, di atap rumah David, juga membolos sekolah sekali sekali. Ah, rindu rasanya dengan masa masa itu. Andai saja penyakit ini tidak sebegitu kejamnya meneror dirinya…
Jumat, 28 juni 2002. Siang itu, David kembali menemaninya meramaikan ruangannya yang sepi. “Tadi begitu bel pulang berdentang, aku langsung berangkat kesini”, kata David. “Aku kangen ma Sekar…”
Wajah sekar kontan memerah begitu mendengar kata katanya. Merah yang memberikan rona kehidupan di wajahnya yang selalu pucat.
“Nanti kalau aku sudah boleh keluar dari sini, kita main main lagi kaya dulu ya. Hujan hujanan, lempar lemparin atap rumah orang, bolos sekolah, …” kata Sekar setengah bergumam.
“Iya, janji…” Kata David dengan mata yang sedikit berkaca kaca. Entah sampai kapan Ia bisa menyimpan rahasia ini. Sel sel kanker di otak Sekar sudah menyebar begitu rupa. Tim dokter hanya bisa membantunya memperpanjang hidupnya. Tapi kalau menyembuhkannya, hanya Tuhan dan mujizat-Nya yang bisa.
“Kira kira kapan ya aku bisa keluar dari sini? Aku udah kangen sama rumah pohonku. Kira kira siapa ya yang ngerawat puss-ku? Aku juga kangen sama dia. Ah, aku kangen sama semuanya. Bosan tau disini. Tiap hari yang diliat itu itu aja. Nggak ada tantangannya. Nggak ada seru serunya. Untung aja masih ada gitar akustikku…” lanjut Sekar lagi. David hanya bisa terdiam. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya untuk menenangkan Sekar. Ia sudah lelah berbohong. Pada Sekar, pada dirinya sendiri, pada teman temannya…
“Eh, Dave, nanti kalo aku sudah nggak ada, kamu jagain puss, rumah pohonku ma gitar akustik ini ya. Jangan disia-sia-in lho. Aku kan bisa lihat kamu dari surga. Kalo kamu macem macem nanti aku turun lagi ke bumi, jadi hantu buat marahin kamu…!”
“Jangan bilang gitu…” Kata David lemah. Ada rasa sakit yang makin kuat menekan hatinya.
Senin, 8 juli 2002. Barusan seorang dokter datang ke kamar Sekar. Katanya, hari ini Sekar boleh pulang. Tapi Sekar harus tetap datang untuk pemeriksaan berkala tiap minggu. Senang rasanya Sekar mendengarnya. Nanti kalau David datang, Ia akan segera menceritakan berita bahagia ini padanya. Akhirnya, Sekar bisa bersenang senang lagi seperti dulu.
“Aku boleh pulang…!” jerit Sekar sambil melompat lompat kegirangan begitu David muncul di kamarnya. David menatapnya tak percaya. Tuhan, apakah ini nyata? Sekar boleh pulang, bisa kembali untuknya, untuk keluarganya, untuk teman temannya? Sekarnya yang indah…
“Kapan?” Tanya David setengah tak percaya.
“Nanti sore. Kata dokter aku boleh pulang kalau hasil pemeriksaan kali ini bagus. Nanti kalau aku sudah keluar, kita main seharian penuh ya? Aku kangen sama semua-muanya …”
“Janji…”
Sabtu, 14 Juli 2002. David sudah sejak tadi menunggu didepan rumah Sekar. Hari ini mereka berdua sengaja bolos sekolah dengan alasan kontrol ke rumah sakit, padahal mereka berdua mau mengulang menyusuri kembali jalan jalan yang dulu mereka lalui saat pertama kali David mengajarinya bolos sekolah. David sudah hampir bosan kalau saja Sekar yang dengan wajah berbinar bahagia tak segera muncul dari pintu rumahnya.
“Maaf, lama ya? Hehehe…”
“Lama Sekar… Udah, ayo cepet….”
“Kita jalan jalan seharian kan?”
“Iya. Seharian sampe kamu puas…”
“Bener? Hehehe, asyik…”
“Dasar…”
“Wek…”
Minggu, 15 juli 2002. Malam sudah sangat larut. Jalanan yang biasanya ramai juga kini tampak begitu lengang. Sementara lampu lampu jalan yang bersinar seadanya semakin menambah kesan sepi di jalanan depan rumah David. Sekar memang sengaja menginap di rumah David. Malam ini mereka akan menatap bintang semalaman, menanti seribu bintang jatuh yang akan mengabulkan sekaligus seribu keinginan mereka.
“Bintangnya bagus ya, Dave… aku nggak tahu lho kalo ngeliat langit malam bisa terasa begitu menyenangkan…” kata Sekar sambil terus menatap langit yang terbentang luas diatasnya.
“Itulah kenapa aku selalu setia dengan rokok, JimBeam, juga kameraku disini. Semuanya tampak begitu berbeda saat malam tiba. Dan aku selalu menikmatinya…” sahut David.
“Aku juga suka…”
“Iya…”
Senin, 16 Juli 2002. Sinar matahari yang menghangati kamar David membuatnya terbangun dengan cepat. Entah sudah berapa lama mereka berdua tertidur, setelah semalaman mereka menatap bintang di atap rumah David. Dengan cekatan David membuka jendela kamarnya. Udara pagi yang segar langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Membuat Sekar yang masih asyik terbuai mimpi terbangun karena dingin yang beku tiba tiba menyapa kulitnya.
“Mmh… Dave, tutup donk jendelanya… dingin nih…” protes sekar sambil melemparkan bantalnya kearah David yang masih berdiri dekat jendela.
“Yee, seger tau Sekar… udah pagi neh… ayo bangun, masa cewe bangunnya siang sih…” ledek David sambil balas melempar bantal pada Sekar. “Udah ah, aku mandi dulu ya. Habis ini kan kita harus ke rumah sakit”
“Iya… cepet mandi. Abis itu gantian. Aku juga mau mandi…”
“Iya…”
Terima kasih Tuhan, aku masih punya cukup waktu untuk menikmati hidupku yang terasa semakin singkat. Setidaknya aku tahu, dalam hidupku yang serba terbatas ini, ada seseorang yang peduli padaku, ucap Sekar dalam hati. Tiba tiba rasa sakit yang parah menyerang kepalanya. Sekar tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu, karena tiba tiba kesadarannya menghilang dengan cepat.
“Sekar!” David yang baru saja selesai mandi tampak panik begitu melihat Sekar tergeletak pingsan sementara darah yang mengental terus mengalir dari hidung dan mulutnya. Dengan cepat David menelepon rumah sakit, dan tak lama kemudian ambulans datang dan membawa Sekar kembali ke tempat yang sama sekali tak pernah disukainya.
Suara gemeretak ranjang dorong yang membawa Sekar ke ruang perawatan terdengar begitu menakutkan baginya. Menatap wajah Sekar yang semakin pucat sementara darah terus mengalir dari hidungnya membuat hati kecilnya sadar, mungkin ini memang waktunya. Waktunya Sekar mengakhiri semuanya. Mungkin dengan ini Sekar tak harus menderita lagi. Tapi sanggupkah Ia merelakan Sekar pergi?
Hampir dua jam berlalu. Ia mulai bosan menanti di ruang tunggu. Sementara tim dokter berjuang menyelamatkan nyawa Sekar, Ia hanya bisa berdoa demi keselamatan sahabatnya. Tuhan, beri kami waktu sedikit lagi…
“David…” akhirnya seorang dokter keluar dari ruang perawatan. “Saudari Sekar ingin bicara dengan anda…”
“iya dok…”
Ternyata memasuki ruang perawatan Sekar terasa lebih berat dari yang Ia bayangkan tadi. Seribu ketakutan terasa semakin kuat mencengkeram hatinya. Sanggupkah Ia menatap mata Sekar sekali lagi, sanggupkah Ia menyimpan rahasia itu lebih lama lagi?
“Dave…” suara Sekar yang lemah langsung menghampiri telinganya begitu Ia menutup kembali pintu ruang perawatan.
“Iya…” jawabnya pelan. Rasa takut dan sedih itu terasa semakin menekannya.
“Kamu inget nggak, aku pernah bilang ‘kalo aku pergi kamu harus jagain puss-ku, rumah pohongku, juga gitar akustikku’?” kata Sekar lemah. Ia hanya mengangguk. “Kamu mau kan jagain mereka buat aku?”
“Nggak, kamu nggak akan kemana mana…” air mata yang sejak tadi menggumpal di matanya seolah mau tumpah, membanjiri pipi dan bibirnya. “Kamu sudah pernah melewati ini. Kamu bisa ngelakuin ini sekali lagi!” jerit David sambil menggenggam tangan Sekar yang semakin terasa dingin erat.
“Nggak, aku tahu kapan aku harus pergi. Pokoknya kamu janji ya, kamu jaga semuanya baik baik. Kalo kamu nakal, nanti aku turun lagi ke bumi, jadi hantu buat marahin kamu…” canda Sekar.
“Nggak, kamu nggak akan kemana mana. Aku nggak akan ngebiarin kamu pergi. Aku janji bakal jaga kamu baik baik. Aku janji…”
“Makasih buat semuanya. Aku senang bisa kenal kamu, walau disaat saat terakhir hidupku…” gumam Sekar pelan, saat dengan cepat kesadaran itu pergi selamanya dari raganya.
David tak tahu lagi apa yang terjadi. Semuanya terasa begitu cepat berlalu. Para suster merawat jasad Sekar dengan cekatan, sementara Ia hanya bisa menatapnya dari kejauhan dengan berlinang airmata.
Rabu, 18 juli 2002. Sekar tampak begitu cantik hari itu. Wajahnya yang biasanya pucat kini tampak sedikit berwarna oleh polesan blush on warna peach di pipinya. Sementara bibirnya yang selalu menyunggingkan senyum tipis itu kini berpoles lipstick merah muda. Sesuatu yang tak pernah Sekar lakukan semasa hidupnya. Jemari kurus yang biasanya menari lincah diatas senar senar gitar itu kini hanya bisa menggenggam lemah buket mawar merah yang nampak kontras dengan gaun putih yang dikenakan padanya. David hanya bisa menatapnya haru. Ia tak pernah menyangka, hanya ini waktu yang Ia punya dengan Sekar, gadis bergitar misterius yang malu malu saat pertama kali berkenalan dengannya. Andaikan Ia mengenalnya lebih awal…
Tanah pemakaman itu terasa lembab, dengan bau tanah yang menguar memenuhi udara. Hujan kemarin malam membuat segalanya tampak dingin dan basah pagi ini. Ia tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya tertidur selamanya dibalik tanah yang basah dan dingin itu sendirian. Sekar-nya yang ceria, Sekarnya yang begitu biasa…
Para petugas penguburan mengerjakan tugasnya dengan cepat, sementara Ia hanya bisa menatap Sekar terakhir kali dari kejauhan, lalu segera beranjak pergi sebelum air mata yang dari tadi tergenang membanjir tanpa bisa lagi dikendalikannya.
Senin, 19 agustus 2002. Dua bulan setelah pemakaman Sekar. Malam masih belum begitu tua. Ia masih terdiam sendiri di atap rumahnya. Langit malam itu tak tampak begitu terang. Awan awan hitam menutupi taburan bintang yang dulu pernah mereka pandangi berdua. Sementara Ia masih setia dengan gitar akustik Sekar yang pernah dititipkannya padanya. Matanya menerawang jauh entah kemana, sementara jari jarinya masih memetik senar gitar itu pelan pelan, mengenang Sekar yang kini sudah bahagia disana. Sekar yang begitu mencintai semua hal di sekitarnya. Sekar yang tak pernah menyerah hingga pertarungan terakhir itu berhasil merebut satu satunya hidup yang dimilikinya. Sekar yang tak pernah berhenti tersenyum hingga saat terakhirnya.
Ia kembali menatap langit luas yang terbentang diatasnya. Mencoba membayangkan Surga yang kini ditinggali Sekar tanpanya. Matanya kembali merebak basah, sementara gerimis mulai turun satu satu membasahi wajah dan badannya. Ia tak lagi peduli. Jemarinya masih menari dengan lincah diatas senar senar gitar akustiknya, sementara bibirnya masih menyenandungkan lagu yang dulu pernah dinyanyikannya untuk Sekar. Dan langit yang murah hati pun sengaja membuka tingkap tingkapnya, membiarkan tetes tetes air hujan itu menderas, membasuh luka dan cinta yang selama ini hanya mampu dipendamnya sendiri…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar