Kamis, 26 Februari 2009

a dollar and eleven sen

Sally baru berumur delapan tahun ketika dia mendengar ibu dan ayahnya sedang berbicara mengenai adik lelakinya, Georgi. Ia sedang menderita sakit yang parah dan mereka telah melakukan apapun yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan jiwanya. Hanya operasi yang sangat mahal yang sekarang bias menyelamatkan jiwa Georgi... tapi mereka tidak punya biaya untuk itu. Sally mendengar ayahnya berbisik, "Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya sekarang."
Sally pergi ke tempat tidur dan mengambil celengan dari tempat persembunyiannya. Lalu dikeluarkannya semua isi celengan tersebut ke lantai dan menghitung secara cermat...tiga kali. Nilainya harus benar- benar tepat.
Dengan membawa uang tersebut, Sally menyelinap keluar dan pergi ke toko obat di sudut jalan. Ia menunggu dengan sabar sampai sang apoteker memberi perhatian... tapi dia terlalu sibuk dengan orang lain untuk diganggu oleh seorang anak berusia delapan tahun. Sally berusaha menarik perhatian dengan menggoyang-goyangkan kakinya, tapi gagal. Akhirnya dia mengambil uang koin dan melemparkannya ke kaca etalase. Berhasil!
"Apa yang kamu perlukan?" tanya apoteker tersebut dengan suara marah. "Saya sedang berbicara dengan saudara saya."
"Tapi, saya ingin berbicara kepadamu mengenai adik saya," Sally menjawab dengan nada yang sama. "Dia sakit...dan saya ingin membeli keajaiban."
"Apa yang kamu katakan?," tanya sang apoteker.
"Ayah saya mengatakan hanya keajaiban yang bias menyelamatkan jiwanya sekarang... jadi berapa harga keajaiban itu ?"
"Kami tidak menjual keajaiban, adik kecil. Saya tidak bisa menolongmu."
"Dengar, saya mempunyai uang untuk membelinya. Katakan saja berapa harganya."
Seorang pria berpakaian rapi berhenti dan bertanya, "Keajaiban jenis apa yang dibutuhkan oleh adikmu?" "Saya tidak tahu," jawab Sally. Air mata mulai menetes di pipinya. "Saya hanya tahu dia sakit parah dan mama mengatakan bahwa ia membutuhkan operasi. Tapi kedua orang tua saya tidak mampu membayarnya... tapi saya juga mempunyai uang." "Berapa uang yang kamu punya ?" tanya pria itu lagi. "Satu dollar dan sebelas sen," jawab Sally dengan bangga. "dan itulah seluruh uang yang saya miliki di dunia ini."
"Wah, kebetulan sekali," kata pria itu sambil tersenyum. "Satu dollar dan sebelas sen... harga yang tepat untuk membeli keajaiban yang dapat menolong adikmu". Dia Mengambil uang tersebut dan kemudian memegang tangan Sally sambil berkata : "Bawalah saya kepada adikmu. Saya ingin bertemu dengannya dan juga orang tuamu."
Pria itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang ahli bedah terkenal....
Operasi dilakukannya tanpa biaya dan membutuhkan waktu yang tidak lama sebelum Georgi dapat kembali ke rumah dalam keadaan sehat.
Kedua orang tuanya sangat bahagia mendapatkan keajaiban tersebut. "Operasi itu," bisik ibunya, "adalah seperti keajaiban.
Saya tidak dapat membayangkan berapa harganya".
Sally tersenyum. Dia tahu secara pasti berapa harga keajaiban tersebut...satu dollar dan sebelas sen... ditambah dengan keyakinan.
Hadiah Terbaik
Kepada kawan - Kesetiaan
Kepada musuh - Maaf
Kepada ketua - Khidmat
Kepada yang muda - Contoh terbaik
Kepada yang tua - Hargai budi mereka dan kesetiaan.
Kepada pasangan - Cinta dan ketaatan
Kepada manusia - Kebebasan

get happy

Tahun baru. Sepertinya semua orang, termasuk mahasiswa/i di sekitar
kami sangat sibuk. Hup. Hup. Dan menunggu sesuatu kan datang. Sesuatu
yang menakjubkan. Sentuhan hidup yang terberkati. Ah. Sekian lama kau
mencari dan hanya sedikit yang kau dapatkan. Kau membuka buku kuliahmu,
tak ada apa yang selama ini kau cari. Kau menatap mata kekasihmu, dan kau
berharap ia adalah orang lain yang kau sungguh dambakan. Kau tatap cermin di
kamarmu. Masih tak ada apapun. Kau berusaha mengisi kekosongan ini, hasrat
untuk menjadi. Tapi kau tak bisa tinggalkan kuliah ini, kau hanya berharap kuliah
ini akan membuatmu mendapatkan kerja sebelum mati. Tapi kau lupa satu hal.
Kau lupa sensasi rasa ciuman pertamamu. Kau lupa indahnya langit saat matahari
terbenam. Kau lupa ketenangan rerumputan yang tertiup angin. Lalu apa yang kau
tunggu? Lulus kuliah, dapat kerja, dapat uang, dapat pasangan hidup dan
menikah, punya anak, mati... rutinitas monoton yang kau dapat dari kemonotonan
kuliah? Ada sesuatu yang menutup mata hatimu. Bahwa kita tak pernah tahu
kapan hidup akan berakhir. Berhentilah menunggu. Tak ada sesuatupun yang
akan hadir di tahun ini. Tak ada apapun.
Kini tatap matamu di cermin dan tanyakan: “Apa yang kau
inginkan sebenarnya, menjadi sukses atau menjadi bahagia?”

embek

Sabtu, 11 mei 2002. Entah berapa lama hari itu telah berlalu. Tapi tak sedikitpun pernah ia lupakan apa yang terjadi di hari itu dan hari hari berikutnya, karena hari itu mungkin adalah sebuah awal baru dari hidup baginya.
Pagi buta telah membangunkannya dari tidur. Dilihatnya jarum jam menunjuk pada ngka delapan. Ia pun mulai bergegas menaiki motornya ke arah sekolah yang berjarak kurang lebih 2KM dari tempatnya.
Matanya mulai sibuk melihat kelas barunya, juga puluhan anak yang tak pernah ia kenal sebelumnya karena hari ini adalah hari pertamanya kepindahannya setelah dua kali dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. Seperti kebanyakan hari pertamanya, selalu saja ada orang orang brengsek yang mulai mencari masalah dengannya. Begitu juga dengan seorang anak yang meludahi baju putihnya. Sebut saja namanya Soni. Ia memang bukan seorang jagoan, tapi Ia pun juga tak akan sungkan menghajar Soni yang bertubuh dua kali lebih besar darinya. Memang Soni adalah anak yang paling ditakuti semua murid di sekolah itu. Tapi sebenarnya apa yang terjadi hari itu bukanlah inti dari kisah ini, melainkan hanya sekedar pembuka seperti apa yang biasanya ada dalam cerita novel lainnya.
Senin, 13 mei 2002. Ini hari kedua Ia masuk sekolah. Mulai terdengar sapaan lembut dari semua teman yang menyebut namanya. Mungkin Ia terkenal, karena di hari pertamanya Ia sudah menghajar seorang anak yang paling sok di sekolah itu.
Sabtu, 18 mei 2002. Sudah tujuh hari, tapi tak ada yang membuat dia merasa istimewa tinggal di sekolah itu. Dalam hati Ia berpikir untuk bolos saja hari itu. Maka Ia pun mulai melangkahkan kakinya ke parkiran yang terletak agak jauh di belakang kelasnya. Tapi langkahnya terhenti saat matanya terantuk pada seorang anak berambut sebahu yang membawa gitar bergegas menuju sebuah ruangan. Terbersit rasa penasaran dalam hatinya. Ia pun mulai mengikuti langkah si gadis bergitar yang berjalan menuju ruangan tersebut. Dari luar Ia mendengar suara lembut si gadis bergitar yang membaca sebuah puisi diiringi dentingan gitar yang tak pernah sekalipun berhenti. 20 menit berselang. Tapi si gadis bergitar masih belum juga terlihat ingin keluar. Ia pun masih melihat dan mendengar apa yang selama ini si gadis bergitar lakukan.
Satu jam, dua jam… Tak terasa ia telah tertidur diluar ruangan menunggu si gadis bergitar. Ketika Ia mulai bangun dari tempat Ia sandarkan badannya, Ia amati bahwa kini hanya tinggal Ia seorang disana. Tak ada gadis bergitar. Tak ada siapa siapa disana. Dengan langkah perlahan, Ia tuntun langkahnya menuju ruangan yang tadinya ditempati si gadis bergitar. Terlihat puluhan lembar kertas bertulisan tangan si gadis bergitar tercecer di lantai ruangan. Ada juga tulisan lainnya yang tertempel saling tumpang tindih di dinding. Mungkin semua itu hanya puisi, mungkin juga rangkaian kalimat ungkapan hati, atau hanya sekedar coretan fiksi. Apapun itu, tak satu pun dari puisi dari kertas kertas yang Ia baca dapat Ia pahami maksudnya. Mungkin si gadis bergitar terlalu rumit membuatnya, hingga menyusahkan Ia memahami maksudnya. Ia payah sendiri membawa satu per satu tulisan tangan gadis bergitar itu. Maka Ia pun memutuskan untuk mengumpulkan karya karya gadis bergitar misterius itu, lalu menempelkannya saling tumpang tindih disamping tulisan tangan si gadis bergitar yang sudah lebih dulu menempel tak beraturan di dinding. Ditelusurinya satu per satu tulisan tangan gadis bergitar misterius itu, saat tiba tiba saja gadis bergitar itu muncul lagi di ambang pintu. Wajahnya mendadak cerah, namun wajah gadi bergitar misterius itu nampak agak pucat. Entah takut, atau memang kelelahan. Sekarang `kan memang jamnya pulang sekolah.
“Maaf…” katanya sambil pelan pelan meletakkan kertas kertas yang berserakan di atas meja. Ia pun mundur perlahan.
“Nggak papa…” Jawab si gadis bergitar pelan. Senyum tipis terkembang di wajahnya. Tatapan matanya yang semula keras penuh kecurigaan pun sudah agak melunak.
“Aku David”, katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Sekar”, balas gadis bergitar misterius itu, masih dengan senyum tersungging di bibirnya. “Permisi, aku mau ambil bukuku…” Lanjut gadis bergitar itu sambil meraih buku tipis yang tersimpan di laci meja dibelakang David.
“Duluan ya…” pamit gadis itu akhirnya, setelah sekian lama mereka berdua terdiam disana.
“Iya…” Jawab David akhirnya. Gadis misterius itu tersenyum lagi sekilas, lalu dengan cepat melangkahkan kakinya menuju gerbang depan sekolah, meninggalkan David yang masih terpaku menatap rambut kuncir dua-nya, juga punggungnya yang menggendong gitar akustiknya.
Jumat, 24 mei 2002. Hari ini sekolah bubar lebih cepat dari biasanya. Dengan agak tergesa gesa, David melangkahkan kakinya melewati beberapa teman teman barunya yang sudah menunggu didepan pintu.Beberapa sapaan iseng teman temannya pun hanya ditanggapinya sambil lalu. Dalam hati Ia merasa ada yang lebih penting dari sekedar menanggapi sapaan teman teman preman-nya. Di salah satu ruangan di sekolah ini, ada seorang gadis bergitar yangdari tadi telah menantinya. Gadis bergitar misterius yang selalu menyunggingkan senyum untuknya. Gadis yang sebenarnya tak terlalu spesial, yang kali ini mampu membuatnya merasa spesial tinggal di sekolah ini. Gadis misterius yang mungkin telah membuat David jatuh hati padanya. Gdis yang menaklukkan hatinya dengan kepolosannya yang indah, juga senyum tipis dan dentingan senar senar gitarnya yang terasa ringan memantul mantul memenuhi lorong lorong hatinya yang sepi.
“Maaf agak lama” Kata David akhirnya, saat menatap punggung sekar yang dengan serius memainkan gitar akustiknya membelakangi pintu. Senyum tipis tetap tersungging di wajahnya yang lelah. Sementara jari jari kurusnya masih dengan lincah menari nari diatas senar gitarnya. Rasa lelah yang seharian menekannya pun terasa sirna saat David menatap senyum tipis dan mata sayunya yang selalu memancarkan harapan. Selalu ada kesempatan, bahkan untuk mahluk yang paling hina, begitu selalu katanya. Kata kata yang pernah membuatnya tersenyum saat pertama kali mendengarnya. Entah Sekar polos atau memang bodoh, pikirnya saat itu.
Sabtu, 25 Mei 2002. David sudah menanti dengan gelisah didepan sekolah dari tadi. Sementara matanya tak berhenti mencari sesosok gadis misterius dengan gitar akustiknya yang belum juga datang menghampirinya. 5 menit, 10 menit. Sebentar lagi waktunya masuk sekolah. Apa gadis bergitar misterius itu mengingkari janjinya? Ia pun mulai bosan menunggu. Hampir saja dilajukannya motor kesayangannya, andai saja Ia tak melihat lambaian tangan gadis bergitar yang berlari lari kecil dari kejauhan. Gitar akustik yang selalu setia menemaninya tampak berguncang guncang di belakang punggungnya. Sementara senyum tipi situ masih saja setia menghias wajah pucatnya yang pias.
“Maaf, aku terlambat ya? Memang kita mau kemana? Kenapa harus bolos sekolah? Aku memang nggak terlalu pintar, tapi kan…”
“Ssssh…” potong David. “Kamu sudah ajari aku main gitar. Sekarang aku mau ajari kamu nakal sedikit” tukasnya.
Sekar tak menjawab lagi. Tapi lengan legan kurusnya terasa hangat melingkari pinggang David yang pelan pelan melajukan motornya meninggalkan sekolah.
“Jarimu kasar…” Goda david sambil tertawa pelan.
“Wek!”
Bersamanya, waktu terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa hamper setengah hari David lalui waktu bersamanya. Dengan gaya yang masih agak kaku, Ia memainkan salah satu lagu favoritnya, sambil menatap dalam dalam mata Sekar yang berbinar menatap matanya.
“Sudah waktunya pulang nih. Kayaknya sekolah juga udah bubar deh…” kata Sekar khawatir begitu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan David.
“Nanti sore aja. Aku anterin kamu pulang, sekalian aku jelasin ke orang tua kamu kalo kamu nanti dimarahin” sahut David sambil terus memainkan gitar yang berada di pangkuannya.
Rabu, 29 mei 2002. Ini hari ketiga Ia tidak dapat menemukan Sekar dimana mana. Tidak di ruang music, tidak di kelasnya, tidak juga di kantin sekolah tempat Ia biasa memesan soto atau bakso untuk makan siangnya. Diam diam Ia merindukannya. Merindukan jari jari mungil yang memetik gitar, merindukan bibir yang selalu bercerita tentang banyak hal. Tentang hujan, mawar, musik, bahkan sampai masalah hati. Mungkin aku harus mampir ke rumahnya, pikir David. Maka, begitu bel pulang sekolah menyentuh telinganya, Ia pun langsung melesat cepat meninggalkan sekumpulan teman teman yang sejak jam terakhir tadi menunggunya didepan kelas.
“Maaf ganggu kamu Sekar” sapanya begitu berhenti didepan rumah Sekar yang rindang. Disana ada Sekar yang sedang memetik gitarakstik sambil bergumam pelan, seolah menyanyi untuk dirinya sendiri. Wajahnya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya, namun senyuman itu tak pudar sedikit pun dari bibirnya. Saat melihat kehadirannya, dengan cepat Sekar membukakan pintu gerbang dan mempersilakannya masuk. Suaranya tetap sama, senyum dan matanya juga. Namun ada satu hal yang mungkin tak bisa lagi Ia tutupi lebih lama dari orang orang disekitarnya. Tidak juga dari David…
Senja ini mungkin senja terbaik yang pernah Sekar miliki sepanjang hidupnya. Cahaya matahari yang hampir tenggelam, semilir angin yang perlahan membelai rambutnya, juga seorang sahabat yang dengan hangat mengenggam tangannya.
“Kamu tahu nggak, kalo misal Tuhan izinkan, aku mau semua sisa waktuku dibuat seperti senja ini. Tenang, indah, menyenangkan. Hanya ada aku, kamu dan dunia. Enak deh rasanya…”
“Iya…”
Entah berapa lama waktu yang telah mereka lalui bersama sejak awal perkenalan mereka. Entah sudah berapa banyak cerita meluncur dari bibir mereka. Tak terhitung juga jumlah puisi yang lahir dari jemari kurus Sekar yang tak pernah berhenti memetik gitar akustiknya sambil dengan lirih melagukan puisi puisi yang ditulisnya. Ia selalu menyukai apapun yang keluar dari mulut Sekar. Tak peduli seberapa rumit atau seberapa berat Ia mencoba untuk memahaminya. Ia hanya menyukainya. Tak mau tahu. Dan tak peduli kenapa.
“Kamu tahu nggak, David, apa yang paling aku suka dari kamu? Aku paling suka waktu kamu menyanyi buat aku. Apa saja. Apa saja. Aku suka. Ratusan puisi tercipta buat orang orang disekitarku. Tapi nggak pernah ada seorang pun yang pernah menyanyi untukku. Aku seneng lho, dengernya…”
Itu kata kata terakhir yang Ia dengar sebelum Sekar jatuh ke pangkuannya, sementara darah yang mengental mengalir pelan dari hidungnya. Ia tak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Selasa, 4 juni 2002. Sudah hampir satu minggu ini Ia bolak balik sekolah-rumah sakit hanya untuk menunggui gadis bergitarnya yang kini sedang tergolek lemah di ranjang perawatan. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya sejak Ia dibawa kemari. Tak ada erangan, keluhan, ataupun makian ketika jarum jarum infus menusuk kulitnya. Tak ada satupun kata kata yang keluar dari bibirnya, bahkan saat kesadarannya yang terbatas pelan pelan terenggut dari dirinya. Hanya senyum tipisnya yang terus menerus mengambang di wajah pucatnya. Sementara David masih dengan setia duduk di samping ranjangnya, memetik pelan senar senar gitar akustiknya sambil lamat lamat menggumamkan sebait lagu atau sebaris doa untuknya. Dalam hati Ia terus berharap, bahwa keajaiban itu akan datang dan menampakkan dirinya, walau hanya sekali di sepanjang hidupnya.
Kamis, 13 juni 2002. Ia masih ada disana. Menggenggam lembut tangan Sekar sambil menatap dalam dalam mata sekar yang mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Tak pernah ada lagi kesunyian dalam kamar itu. Suara alat alat medis yang meemastikan hidupnya tak pernah berhenti bergema dalam ruangan bercat hijau muda itu. Juga denting senar gitar atau cerita cerita basi-nya yang mungkin hanya sanggup membuatnya terus terjaga hingga mungkin satu esok akan datang dan mewujudkan mimpinya.
Senin, 17 Juni 2002.
“David…”
Akhirnya setelah sekian lama, kesadaran itu kembali mengisi keberadaan Sekar disana. Dengan jemari yang masih lemah, Sekar menyentuhkan tangannya dikepala David yang tersandar lelah disisi ranjangnya. Ada sedikit rona bahagia tergambar di wajah pucatnya saat perlahan lahan David mengangkat kepalanya.
“Sekar…” david bergumam setengah tak percaya. Iya, aku berhasil. Aku menang Dave. Aku bisa. Kemarin, hari ini, besok, lusa pun aku bisa. Aku mampu Dave, semua karena kamu…
“Jangan banyak gerak dulu ya… aku panggil dokter dulu…”
Jangan pergi Dave. Kamu disini aja, temenin aku. Aku udah nggak papa kok…
Sekar kembali berusaha bicara, namun tak sedikitpun suara keluar dari tenggorokannya. Mendadak rasa lelah yang amat sangat mendera dirinya.
Rabu, 26 juni 2002. Senja hari itu terasa begitu indah. Dengan gitar akustiknya, seorang perawat yang ramah, dan suasana taman yang menyenangkan, Sekar merasa kembali menemukan eksistensi dirinya. Tadi siang, teman teman sekolahnya datang menjenguk. David juga ada disana. Menatapnya dengan tatapan yang member semangat. Ia percaya, bahwa Sekar akan sembuh. Setelah itu, mereka akan kembali berpetualang seperti dulu. Di ruang musik, di atap rumah David, juga membolos sekolah sekali sekali. Ah, rindu rasanya dengan masa masa itu. Andai saja penyakit ini tidak sebegitu kejamnya meneror dirinya…
Jumat, 28 juni 2002. Siang itu, David kembali menemaninya meramaikan ruangannya yang sepi. “Tadi begitu bel pulang berdentang, aku langsung berangkat kesini”, kata David. “Aku kangen ma Sekar…”
Wajah sekar kontan memerah begitu mendengar kata katanya. Merah yang memberikan rona kehidupan di wajahnya yang selalu pucat.
“Nanti kalau aku sudah boleh keluar dari sini, kita main main lagi kaya dulu ya. Hujan hujanan, lempar lemparin atap rumah orang, bolos sekolah, …” kata Sekar setengah bergumam.
“Iya, janji…” Kata David dengan mata yang sedikit berkaca kaca. Entah sampai kapan Ia bisa menyimpan rahasia ini. Sel sel kanker di otak Sekar sudah menyebar begitu rupa. Tim dokter hanya bisa membantunya memperpanjang hidupnya. Tapi kalau menyembuhkannya, hanya Tuhan dan mujizat-Nya yang bisa.
“Kira kira kapan ya aku bisa keluar dari sini? Aku udah kangen sama rumah pohonku. Kira kira siapa ya yang ngerawat puss-ku? Aku juga kangen sama dia. Ah, aku kangen sama semuanya. Bosan tau disini. Tiap hari yang diliat itu itu aja. Nggak ada tantangannya. Nggak ada seru serunya. Untung aja masih ada gitar akustikku…” lanjut Sekar lagi. David hanya bisa terdiam. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya untuk menenangkan Sekar. Ia sudah lelah berbohong. Pada Sekar, pada dirinya sendiri, pada teman temannya…
“Eh, Dave, nanti kalo aku sudah nggak ada, kamu jagain puss, rumah pohonku ma gitar akustik ini ya. Jangan disia-sia-in lho. Aku kan bisa lihat kamu dari surga. Kalo kamu macem macem nanti aku turun lagi ke bumi, jadi hantu buat marahin kamu…!”
“Jangan bilang gitu…” Kata David lemah. Ada rasa sakit yang makin kuat menekan hatinya.
Senin, 8 juli 2002. Barusan seorang dokter datang ke kamar Sekar. Katanya, hari ini Sekar boleh pulang. Tapi Sekar harus tetap datang untuk pemeriksaan berkala tiap minggu. Senang rasanya Sekar mendengarnya. Nanti kalau David datang, Ia akan segera menceritakan berita bahagia ini padanya. Akhirnya, Sekar bisa bersenang senang lagi seperti dulu.
“Aku boleh pulang…!” jerit Sekar sambil melompat lompat kegirangan begitu David muncul di kamarnya. David menatapnya tak percaya. Tuhan, apakah ini nyata? Sekar boleh pulang, bisa kembali untuknya, untuk keluarganya, untuk teman temannya? Sekarnya yang indah…
“Kapan?” Tanya David setengah tak percaya.
“Nanti sore. Kata dokter aku boleh pulang kalau hasil pemeriksaan kali ini bagus. Nanti kalau aku sudah keluar, kita main seharian penuh ya? Aku kangen sama semua-muanya …”
“Janji…”
Sabtu, 14 Juli 2002. David sudah sejak tadi menunggu didepan rumah Sekar. Hari ini mereka berdua sengaja bolos sekolah dengan alasan kontrol ke rumah sakit, padahal mereka berdua mau mengulang menyusuri kembali jalan jalan yang dulu mereka lalui saat pertama kali David mengajarinya bolos sekolah. David sudah hampir bosan kalau saja Sekar yang dengan wajah berbinar bahagia tak segera muncul dari pintu rumahnya.
“Maaf, lama ya? Hehehe…”
“Lama Sekar… Udah, ayo cepet….”
“Kita jalan jalan seharian kan?”
“Iya. Seharian sampe kamu puas…”
“Bener? Hehehe, asyik…”
“Dasar…”
“Wek…”
Minggu, 15 juli 2002. Malam sudah sangat larut. Jalanan yang biasanya ramai juga kini tampak begitu lengang. Sementara lampu lampu jalan yang bersinar seadanya semakin menambah kesan sepi di jalanan depan rumah David. Sekar memang sengaja menginap di rumah David. Malam ini mereka akan menatap bintang semalaman, menanti seribu bintang jatuh yang akan mengabulkan sekaligus seribu keinginan mereka.
“Bintangnya bagus ya, Dave… aku nggak tahu lho kalo ngeliat langit malam bisa terasa begitu menyenangkan…” kata Sekar sambil terus menatap langit yang terbentang luas diatasnya.
“Itulah kenapa aku selalu setia dengan rokok, JimBeam, juga kameraku disini. Semuanya tampak begitu berbeda saat malam tiba. Dan aku selalu menikmatinya…” sahut David.
“Aku juga suka…”
“Iya…”
Senin, 16 Juli 2002. Sinar matahari yang menghangati kamar David membuatnya terbangun dengan cepat. Entah sudah berapa lama mereka berdua tertidur, setelah semalaman mereka menatap bintang di atap rumah David. Dengan cekatan David membuka jendela kamarnya. Udara pagi yang segar langsung menyerbu masuk ke dalam kamar. Membuat Sekar yang masih asyik terbuai mimpi terbangun karena dingin yang beku tiba tiba menyapa kulitnya.
“Mmh… Dave, tutup donk jendelanya… dingin nih…” protes sekar sambil melemparkan bantalnya kearah David yang masih berdiri dekat jendela.
“Yee, seger tau Sekar… udah pagi neh… ayo bangun, masa cewe bangunnya siang sih…” ledek David sambil balas melempar bantal pada Sekar. “Udah ah, aku mandi dulu ya. Habis ini kan kita harus ke rumah sakit”
“Iya… cepet mandi. Abis itu gantian. Aku juga mau mandi…”
“Iya…”
Terima kasih Tuhan, aku masih punya cukup waktu untuk menikmati hidupku yang terasa semakin singkat. Setidaknya aku tahu, dalam hidupku yang serba terbatas ini, ada seseorang yang peduli padaku, ucap Sekar dalam hati. Tiba tiba rasa sakit yang parah menyerang kepalanya. Sekar tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu, karena tiba tiba kesadarannya menghilang dengan cepat.
“Sekar!” David yang baru saja selesai mandi tampak panik begitu melihat Sekar tergeletak pingsan sementara darah yang mengental terus mengalir dari hidung dan mulutnya. Dengan cepat David menelepon rumah sakit, dan tak lama kemudian ambulans datang dan membawa Sekar kembali ke tempat yang sama sekali tak pernah disukainya.
Suara gemeretak ranjang dorong yang membawa Sekar ke ruang perawatan terdengar begitu menakutkan baginya. Menatap wajah Sekar yang semakin pucat sementara darah terus mengalir dari hidungnya membuat hati kecilnya sadar, mungkin ini memang waktunya. Waktunya Sekar mengakhiri semuanya. Mungkin dengan ini Sekar tak harus menderita lagi. Tapi sanggupkah Ia merelakan Sekar pergi?
Hampir dua jam berlalu. Ia mulai bosan menanti di ruang tunggu. Sementara tim dokter berjuang menyelamatkan nyawa Sekar, Ia hanya bisa berdoa demi keselamatan sahabatnya. Tuhan, beri kami waktu sedikit lagi…
“David…” akhirnya seorang dokter keluar dari ruang perawatan. “Saudari Sekar ingin bicara dengan anda…”
“iya dok…”
Ternyata memasuki ruang perawatan Sekar terasa lebih berat dari yang Ia bayangkan tadi. Seribu ketakutan terasa semakin kuat mencengkeram hatinya. Sanggupkah Ia menatap mata Sekar sekali lagi, sanggupkah Ia menyimpan rahasia itu lebih lama lagi?
“Dave…” suara Sekar yang lemah langsung menghampiri telinganya begitu Ia menutup kembali pintu ruang perawatan.
“Iya…” jawabnya pelan. Rasa takut dan sedih itu terasa semakin menekannya.
“Kamu inget nggak, aku pernah bilang ‘kalo aku pergi kamu harus jagain puss-ku, rumah pohongku, juga gitar akustikku’?” kata Sekar lemah. Ia hanya mengangguk. “Kamu mau kan jagain mereka buat aku?”
“Nggak, kamu nggak akan kemana mana…” air mata yang sejak tadi menggumpal di matanya seolah mau tumpah, membanjiri pipi dan bibirnya. “Kamu sudah pernah melewati ini. Kamu bisa ngelakuin ini sekali lagi!” jerit David sambil menggenggam tangan Sekar yang semakin terasa dingin erat.
“Nggak, aku tahu kapan aku harus pergi. Pokoknya kamu janji ya, kamu jaga semuanya baik baik. Kalo kamu nakal, nanti aku turun lagi ke bumi, jadi hantu buat marahin kamu…” canda Sekar.
“Nggak, kamu nggak akan kemana mana. Aku nggak akan ngebiarin kamu pergi. Aku janji bakal jaga kamu baik baik. Aku janji…”
“Makasih buat semuanya. Aku senang bisa kenal kamu, walau disaat saat terakhir hidupku…” gumam Sekar pelan, saat dengan cepat kesadaran itu pergi selamanya dari raganya.
David tak tahu lagi apa yang terjadi. Semuanya terasa begitu cepat berlalu. Para suster merawat jasad Sekar dengan cekatan, sementara Ia hanya bisa menatapnya dari kejauhan dengan berlinang airmata.
Rabu, 18 juli 2002. Sekar tampak begitu cantik hari itu. Wajahnya yang biasanya pucat kini tampak sedikit berwarna oleh polesan blush on warna peach di pipinya. Sementara bibirnya yang selalu menyunggingkan senyum tipis itu kini berpoles lipstick merah muda. Sesuatu yang tak pernah Sekar lakukan semasa hidupnya. Jemari kurus yang biasanya menari lincah diatas senar senar gitar itu kini hanya bisa menggenggam lemah buket mawar merah yang nampak kontras dengan gaun putih yang dikenakan padanya. David hanya bisa menatapnya haru. Ia tak pernah menyangka, hanya ini waktu yang Ia punya dengan Sekar, gadis bergitar misterius yang malu malu saat pertama kali berkenalan dengannya. Andaikan Ia mengenalnya lebih awal…
Tanah pemakaman itu terasa lembab, dengan bau tanah yang menguar memenuhi udara. Hujan kemarin malam membuat segalanya tampak dingin dan basah pagi ini. Ia tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya tertidur selamanya dibalik tanah yang basah dan dingin itu sendirian. Sekar-nya yang ceria, Sekarnya yang begitu biasa…
Para petugas penguburan mengerjakan tugasnya dengan cepat, sementara Ia hanya bisa menatap Sekar terakhir kali dari kejauhan, lalu segera beranjak pergi sebelum air mata yang dari tadi tergenang membanjir tanpa bisa lagi dikendalikannya.
Senin, 19 agustus 2002. Dua bulan setelah pemakaman Sekar. Malam masih belum begitu tua. Ia masih terdiam sendiri di atap rumahnya. Langit malam itu tak tampak begitu terang. Awan awan hitam menutupi taburan bintang yang dulu pernah mereka pandangi berdua. Sementara Ia masih setia dengan gitar akustik Sekar yang pernah dititipkannya padanya. Matanya menerawang jauh entah kemana, sementara jari jarinya masih memetik senar gitar itu pelan pelan, mengenang Sekar yang kini sudah bahagia disana. Sekar yang begitu mencintai semua hal di sekitarnya. Sekar yang tak pernah menyerah hingga pertarungan terakhir itu berhasil merebut satu satunya hidup yang dimilikinya. Sekar yang tak pernah berhenti tersenyum hingga saat terakhirnya.
Ia kembali menatap langit luas yang terbentang diatasnya. Mencoba membayangkan Surga yang kini ditinggali Sekar tanpanya. Matanya kembali merebak basah, sementara gerimis mulai turun satu satu membasahi wajah dan badannya. Ia tak lagi peduli. Jemarinya masih menari dengan lincah diatas senar senar gitar akustiknya, sementara bibirnya masih menyenandungkan lagu yang dulu pernah dinyanyikannya untuk Sekar. Dan langit yang murah hati pun sengaja membuka tingkap tingkapnya, membiarkan tetes tetes air hujan itu menderas, membasuh luka dan cinta yang selama ini hanya mampu dipendamnya sendiri…

freya

Namaku Freya.
Sejak lahir, aku tidak mendengar dan tidak bicara.
Duniaku sepi tanpa suara, tapi aku tetap menyukainya.
Aku menamakan duniaku sebagai dunia penuh warna.
Setidaknya, aku masih menggambar dan menulis untuk berkomunikasi.
Aku memiliki seekor anjing dobermen berwarna coklat emas bernama bruno.
Selama ini, Bruno-lah satu satunya teman seperjalananku yang paling setia.
Ya, aku memang suka berjalan-jalan.
Menyusuri pantai, menangkap cahaya matahari atau menyapa deburan ombak yang malu malu menjilati kakiku.
Atau terkadang mengayuh sepedaku menyusuri pasar malam yang hampir setiap senja digelar di jalanan depan rumahku.
Aku suka menangkap wajah-wajah letih namun bahagia mereka yang tersenyum, bicara, tertawa...
kadang aku iri dengan kelebihan mereka.
Mampu mendengar suara, bicara, bercerita satu sama lain dengan cara yang lebih mudah daripada yang harus aku lakukan.
Mungkin bila esok pagi aku bangun dan mendadak bisa bicara, aku akan bicara tanpa henti seminggu penuh.
menceritakan bagaimana sepinya dunia tanpa kata kata yang selama ini aku tinggali.

Karena seringnya aku berkeliaran disana, beberapa orang sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku yang sepi.
Termasuk juga beberapa seniman tatoo dan cowok-cowok rastafarian yang sering duduk-duduk di ujung jalan, sekedar mengobrol, atau menjalani malam bersama.
Aku menyukai mereka. menyukai sikap mereka yang menyenangkan. Menyukai tatapan mata mereka yang terasa bersahabat buatku.
Beberapa dari mereka bahkan mengenalku dengan baik, sebaik ayah yang selama ini sangat menyayangiku.
Mereka menamaiku Ariel, seperti nama seekor putri duyung cantik yang rela menukar suaranya dengan sepasang kaki agar bisa berjalan berdampingan menyusuri pantai sore hari dengan pangeran tampan pujaannya.
Aku tersenyum sedikit ge-er dan mengatakan pada mereka bahwa hal itu terasa aneh buatku ketika mereka mengatakannya padaku pertama kali.
Tapi nyatanya semalaman aku memikirkannya.
Membayangkan jika seandainya diriku adalah Ariel, si putri duyung cantik yang rela menukar suaranya demi sepasang kaki jenjang yang indah demi memikat pangeran tampan pujaannya.
Relakah aku menukarkan suaraku dengan sepasang kaki agar aku bisa berjalan?

Patty, begitu namanya.
Atau setidaknya begitulah teman temannya memanggilnya.
Dia juga termasuk salah satu cowok rastafarian yang sering kutemukan melamun di ujung jalan hampir setiap malam.
Kadang aku juga menemukannya sedang memetik dawai dawai gitar dengan penuh perasaan, atau menggambar dengan mimik wajah serius diatas tubuh kliennya.
Aku sering membidikkan lensa kameraku ke arahnya ketika ia sedang bekerja.
Entah mengapa, aku sangat menyukai ekspresinya saat menggambar diatas tubuh kliennya.
Ekspresinya, terasa berbeda.
Kata mereka, bukan tidak mungkin kalau aku menyukai Patty, hanya mungkin belum menyadarinya.
Aku tahu wajahku memerah seketika saat mereka mengatakannya.
Rasanya memalukan, karena mereka bahkan tidak mengejek atau menggodaku karena menyukainya.
Aku senang berada diantara mereka, karena dari sedikit orang muda yang memahami aku, gadis dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi, mereka masih mau memahamiku dan tidak menganggap keterbatasanku itu mengganggu.
Mereka bahkan menghargai pemikiran pemikiranku yang unik, kadang terlontar begitu saja, namun terasa menarik bagi mereka.
Aku menyukai mereka.Menyukai pujian demi pujian yang mereka lontarkan begitu saja padaku.
Mereka bilang aku cantik.
Bukan. Mereka bilang aku eksotis, tepatnya. Aku nggak paham apa maksudnya.
Aku pikir perempuan semua perempuan kan juga seperti itu.
Begitu artistik namun juga sedikit ironis.
Ah, itukah aku?

Kadang aku merasa asing dengan duniaku.
Dunia yang sepi yang mungkin hanya kutinggali sendiri.
Menggelikan.
Lucu rasanya jika membayangkan hal itu.
Kamu tau rasanya tinggal di duniaku?
Rasanya begitu hampa.
Begitu sunyi.
Begitu dingin.
Beku.
Tapi cukup menyenangkan buatku.
Buat seorang gadis yang tak lagi butuh suara untuk berkata-kata.

perempuan sejati

Kata orang, wanita adalah ciptaan Tuhan yang paling indah. Karena itu, banyak orang mengibaratkan wanita mereka seperti bunga. Bunga mawar, melati, kenanga, anggrek, atau bunga apapun yang berwarna indah dan berbau harum. Tapi pernahkah mereka sadari bahwa keindahan dan kecantikan bunga bunga itu hanya sementara? Pada akhir masanya, bunga itu akan kehilangan wangi juga warna indahnya yang menggoda. Pada saat itu, bunga takkan lagi dianggap sebagai sesuatu yang indah bagi orang orang di sekitarnya. Itukah wanita yang adalah ciptaan Tuhan yang paling indah?
Aku suka mengibaratkan perempuanku sebagai pohon beringin. Bukan karena dia tak cantik walau dia memang tak terlalu cantik. Lang cukup enak dilihat sebagai seorang gadis afro. Kulitnya tak terlalu hitam, dengan rambut berombak yang selalu dipotong pendek dan wajah yang spesifik buatku. Bukan juga karena gadisku tak wangi walaupun aku sering mencium aroma vanilla dari tubuh dan rambutnya yang tak pernah bisa tampak cukup rapi buatku.
Perempuanku memang tidak seperti putri putri yang datang dari negeri dongeng. Baju kebangsaannya hanya kaos dan celana jeans belel. Alas kakinya juga hanya sneakres coklat muda yang tak kalah kucel dengan dirinya. Dia tak pernah ribut dengan tren masa kini atau make up macam macam yang biasa diributkan para gadis pada umumnya. Gadisku memang luar biasa. Dia indah dengan caranya, tapi juga menarik dengan cara orang orang umumnya.
Perempuanku tak pernah mengeluh jijik atau capek karena menemaniku berjalan jalan keliling kota dengan motor bututku, duduk makan di cafe tenda pinggir jalan atau sekedar mencangkung sore di balai pemuda. Dia memang perempuanku yang terliat.
Aku tak pernah peduli dengan kata orang tentangnya. Apapun yang orang bilang, dia akan tetap jadi perempuan terbaik kedua dalam hidupku, setelah ibuku. Buat dia, aku selalu mencintaimu. Dimanapun kamu berada sekarang. Seperti katamu, cinta kita abadi.

miss cupid

Bulan February. Bulan jatuh cinta sedunia. Dimana mana isinya cintaaaa…melulu. Di mall, di jalan, di kampus, bahkan di rumah, semuanya bertemakan cinta. Ooh, rasakan cinta di udara… (iklan banget gak seeh…) Mulailah miss cupid beraksi dengan ahlinya, menjajakan komoditi paling laku no.2 (setelah daging mentah), menjadi penasehat cinta buat temen temennya yang lagi mabok, yang rela ngasih apa aja demi sebuah advis cinta.
“mm, cewe kaya dia biasanya suka yang romantis romantic Jo. Ajak deh dianya dinner di resto yang cozy gitu, nggak perlu mahal sih, yang penting nyaman, trus, nyatain deh cinta kamu dengan 100 kuntum mawar merah…” begitu ahlinya miss cupid kita memberikan advisnya. Kalian pasti bertanya Tanya, gimana serngnya miss cupid kita ini gonta ganti pacar, atau mendengar rayuan cinta mamir ke telinganya. Oho, jangan salah. Miss cupid kita yang satu ini jauh banget dari sebutan primadona. Dengan penampilan yang selalu cuek dan apa adanya, miss cupid kita ini sepertinya lebih pantas disebut ‘premin’ (temennya preman) daripada disebut ‘prom queen’. “Yang belum terkontaminasi sama virus cowok, dialah yang paling objektif dan paling pantes jadi miss cupid”, begitu selalu elak miss cupid tiap kali ditanya tenang urusan cintanya. “emang kalian rela aku pacaran ma cowok terus pensiun dari pekerjaanku jadi miss cupid kalian semua?” Kalo sudah gitu, kalah deh temen temennya, nggak berani nanya nanya lagi…
“Gimana miss cupid, banyak pasien hari ini?” Tanya Vika, sobat akrab miss cupid.
“hmm…hmm…” Jawab miss cupid cuek sambil terus melangkahkan kakinya menyusuri lorong kampus menuju kelas berikutnya. “Lumayan lah. Lumayan buat jalan jalan besok sabtu” ujarnya cepat. Vika Cuma bisa geleng geleng kepala melihat tingkah ajaib sahabatnya. Emang sih, nggak Cuma kali ini aja Freya bertingkah aneh seperti itu. Tapi tingkah anehnya itu selalu bertambah aneh tiap kali mendekati val-day seperti ini. Alesannya sih, rasakan cinta di udara… (huekz…)
“Frey, dicari ketua HIMA noh, di gallery…!” kata salah satu temannya tepat ketika Freya baru menjejakkan sebelah kakinya ke lantai kelas. Kontan aja freya lemes mendadak. Terpaksa turun lagi ke lantai satu setelah dengan susah payah naik tangga ke lantai tiga emang ngeselin banget. Tapi demi sang KAHIMA, Freya turun juga.
“Vik, TA-in yaa!” katanya sambil menepuk pelan bahu Vika, lalu segera berlari turun lagi ke lantai satu. Vika Cuma bisa geleng geleng kepala.
***
“Wahai KAHIMA, gerangan apakah yang membuatmu memanggil miss cupid, ratu cinta sekampus, datang kemari?” sapa miss cupid konyol. KAHIMA yang baru aja menikmati semangkuk mie kuah xtra pedas sampe terbatuk batuk, keselek denger salam dari wakil serbabisa-nya itu.
Eh, kamu Frey. Aku punya kerjaan nih buat kamu. Rencananya untuk menyabut hari Valentine ini anak anak HIMA mo bikin stan pernak pernik Valentine buat cari dana buat korban banjir di Jawa Tengah. Gimana nurut kamu?”
“Mmm…mmm…” Freya bukannya jawab, malah asyik mantengin muka KAHIMA yang belakangan ini selalu hadir (nggak pernah absen) menghiasi setiap khayalan Freya.
“Trus nanti rencananya kita juga mau buat stan ramalan cinta miss cupid. Kamu aku serahin tugas buat jaga stannya. Ntar pembagian uang bayarannya kamu bahas langsung aja ma ketua acaranya. Nanti aku juga turun langsung, ikutan jaga stan pernak pernik Valentinenya. Gimana?”
“Mmm…mmm…”
“Freya…yah, aku dicuekin deh…” gerutu Daniel, sang KAHIMA, sambil mencubit pipi Freya kiri-kanan. “Iiiih…gemessss…”
“Adududuh, iya… apaa sih pake cubit cubit segala?!” protes Freya sambil menggosok gosok pipinya. “aku lagi ngebayangin konsep acaranya nih…” elak Freya elagapan, sambil sok seris mendengarkan keterangan lanjutan dari Daniel.
“Kamu dengerin nggak aku tadi ngomong apa?” tegur Daniel pura pura marah
“Iya denger, Freya denger. Tenang aja, pokoknya kalo bayarannya OKE, Freya sang Miss Cupid mo bantu apa aja… Eh, ngomong ngomong buat DP-nya bayarin mie ama es jerukku ya!” jawab Freya sambil dengan santai ngeloyor pesen mie dan es jeruk ke pejaga kantin.
“Frey…!”
Terlambat. Freya sudah terlalu jauh untuk dipanggil kembali dan menerima semburan kejengkelan Daniel. Daniel Cuma bia BT. Dongkol.
***
Hmm, perut kenyang, bawaannya ngantuk aja. Freya jadi nggak tahu mau kemana, soalnya nggak mungin juga dia masuk kelas. Udah telat banget soalnya.
“Frey, sini dunk… gabung ma kita kita…!” teriak Doni, temen Freya, dari pos satpam yang belakangan ini jadi tempat nongkrong favorit temen temennya. Eits, jangan salah sangka dulu…mereka ini bukannya pnya cita cita jadi satpam, tapi pos satpam ini emang tempat nongkrong yang paling asyik, nyaman n aman di seantero kampus. Freya pun memutuskan untuk bergabung.
“Wee… Freya, miss cupid abad ini. Gimana nih, udah ketemu pangeran cntanya? Atau, sendiri lagi di Valentine hari ini? Payah ah, masa ratu cinta malah nggak punya pacar…” ledek salah satu temannya. Freya yang diledek begitu Cuma bisa manyun, lalu menyerobot rokok yang baru setengah dihisap Doni.
“Buat aku ya”
Doni cumin manun, terus nyalain batang rkok yang baru. Freya tersenyum puas. Memang, walaupun cewe, Freya emang cewe yang paling ajaib dan radikal yang tumbuh di kampus oranye tercinta. Nggak salah deh, kao dengan gaya yag ajaib itu, Frey udah jadi wakil KAHIMA di semester awalnya di kampus. Karena gaya ajaibnya itu juga, Frey dengan mudah membaur dengan segala macam latar belakang teman temannya, cowok, cewek, bahkan kakak kakak angkatan. Biar ajaib gitu, Frey juga termasuk mahasiswa yang pintar dan nggak pernah basa basi. Yaa, enggak sedikit juag sih teman teman yang nggak msuka sama Freya, yang memandag sebelah mata atau menilai miring segala hal yang freya lakukan.
“Frey cantik, nggak boleh merokok donk… nanti anakku sakit asma lho…” Kata Daniel yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang punggung Freya, dan denga sigap meraih rokok yang baru saja hendak Freya hisap.
“Cieee…ciee… Ini toh pangerannya Freya… Cieee…cieee…”
Kontan aja seluruh audiens ber-cie cie-ria. Apalagi Daniel juga tanpa sungak (atau tanpa mikir?!) sudah bilang ‘anak’ segala. Muka Freya jelas aja berubah warna jadi merah-kuning-ijo denger kata kata Daniel. Merah untuk malu, kuning untuk agak il-feel, dan ijo untuk seneng. Malu, jelas lah… agak il-feel, ya iya lah! Masa belom apa apa Daniel udah berani bilang ‘anak’?! apa ntar nggak bikin gossip tuh? Macem macem aja. Freya juga belum ada rencana punya anak dalam waktu dekat kok. Seneng, ya iya banget lah… jangan jangan Daniel juga punya perasaan yang sama kaya yang dirasain ma Freya. Ah, kalo bener, senangnyaaaa…
“Eh, mukanya asem dia… Jangan marah donk Freya… Aku Cuma nggak suka aja liat cewe ngerokok. Kesannya gimanaaa gitu. Kaya nggak sayang badan sendiri. Kan kasian calon bayi kamu juga…” Lanjut Daniel (sok) bijaksana sambil senyum senyum (ganjen). Suasana mendadak jadi nggak enak. Hening banget, kaya d kuburan. Semua anak menatap heran pada Freya yang mendadak aneh ma Daniel yang juga tibatiba tampak ajaib didepan mereka.
“Ya udah kalo nggak boleh, aku cabut aja. Wek!” Ucap Freya mendadak, berusaha mencairkan suasana. “Ya udah, aku mo ke perpus dulu ya!” katanya sambil tersenyum, lalu buru buru berlari kecil ke perpustakaan. “Dasar cowok cowok egois semua. Nyebelin banget. Toh efek rokok sama aja buat cewe ma buat cowo. Kaya mereka nggak ngeokok aja, orang sama sama ngerokok juga…” runtuk Freya sepanjang jalan.
***
Ternyata di perpustakaan dah ada Vika ma Inka, temen Freya yang satu lagi, ngejogrok di spot favorit Freya. Jelas aja Freya kaget campur seneng. Ya iya, aturan kan kelas harusnya belom selesai. Tapi, lmayan juga sih, ada yang nemenin. Daripada ngganggur sendirian nggak jelas…
“Kabur dari kelasnya pak Jono ya?” Tanya Freya, yang langsung dijawa dengan anggukan mantab dari kedua temannya.
“iya, Pak Jono ngamuk. Lagi dapet kali…” Jawab Inka.
“Iya tuh, kaya orang kebakaran bulu idung aja…” Sahut Vika.
Freya Cuma menganguk angguk mahfum. Emang pak Jono, dosen MPK itu, tingkat ngeselinnya emang paling pol. Udah kalo ngomong logat Bali-nya kentel banget, sering ngeyel, mana kalo ngasi info sering salah lagi.
Tak lama kemudian, tiga lakon kita ini udah sibuk dengan bacaannya masing masing. Inka sama majalahnya, Vika ma buku pelajarannya, dan Freya ma novel fiksi ilmiah kesayangannya.suasana jadi hening. Tenaaang banget. Sesekali terdengar suara halaman buku dibalik. Semua sibuk dengan pikirannya masing masing.Kadang Inka ketawa ketawa sendiri, Vika sibuk membetulkan kacamatanya yang melorot, Freya sibuk mantengin parkiran mobil yang ada di belakang perpustakaan. Matanya menerawang, mengamati tiap mobi. Catnya, body-nya, kacanya, … tanpa sadar bibirnya berucap.
“Pren, aku lagi suka ma cowo nih… Gimana ya?”
Demi mendengar kata ‘aku suka cowok’ keluar dari mulut Freya, kedua sobatnya sontak meletakkan bacaannya masing masing, lalu langsung heboh sendiri (eh, berdua ding) mengorek keterangan lanjutan dari bibir Freya. Gayanya heboh banget, kaya wartawan yang lagi nguber pejabat yang ketangkep plisi gara gara ketauan korup.
“Hah, beneran Frey? Siapa? Anak mana? Cakep ya?”
“Anak FISIP ya? Kakak kelas? Seangkatan? Keren? Mirip artis ya? Siapa?”
“Gayanya asyik gak? Keren ya? Dia tau gak kalo kamu suka ma dia?”
“Aduuh, cerita donk Frey… Kan jarang jarang ada momen kaya gini…”
Frey yang ditanya teman temannya dengan cara yang membabi buta begitu hanya bisa tersenyum senyum misterius, mencoba menenangkan teman temannya yang udah heboh, sampe nggak sadar kalo mereka sudah dari tadi dilirik dngan sadis sama seisi perpustakaan.
“Pssst… diem dikit donk. Diliatin orang tuh…!” Jawab Freya santai. “Lagian aku juga belom pasti kok. Cuma suka aja apa emang naksir berat ma dia. Ntar aku kabari lagi deh kalo udah positif…”
Inka dan Vika sebenernya masih mau nanya nanya lebih jauh, tapi sesi Tanya jawab kali ini terpaksa diputus sejenak, karena Mira, kakak kelas yang juga bergelar primadona kampus, dating dengan wajah gak karuan, kayanya mau curhat ma Freya perihal berantemnya dia ma cowoknya.
“Frey, sori bisa ganngu bentar? Gue mo curhat niyh…”
Freya melirik sebentar kea rah teman temannya yang kelihatan banget lagi menahan rasa penasaran, lalu berujar santai “Bisa kok…”
***
Sementara Freya sibuk dengan Mira, Inka dan Vika juga sibuk dengan seribu satu dugaan mereka mengenai cowok idaman Freya. Daniel juga sibuk. Bukannya sibuk belajar atau sibuk ngurusin acara HIMAnya, tapi malah sibuk ngelabainin anak anak SMA sebelah yang kadang pulang lewat depan fakultasnya.
“Cewe, aduh yang roknya pendek…” goda Daniel
“Jalannya jangan kaya tentara donk, aduuuh…” Timpal Rio
“Jangan grogi, santai aja… kita kita dah jinak kok…” Sahut Dido
Lalu mereka bertiga tertawa tergelak gelak.Cewek cewek SMA yang semula Ge-eR mereka godain, jadi menyingkir karena tengsin berat.

“Gue mau curhat soal Dido Frey, cowok gue. Tau kan lo, Dido yang mana?” Kata Kak Mira membuka percakapan. Sekarang mereka berdua lagi duduk di cafĂ© kampus, memesan es krim dan cake untuk temen ngobrol mereka. Tentu aja Kak Mira yang bayar. Kan dia yang curhat. Lagian, kalo harus bayar sendiri mana mau Frey diajak makan disana?
“Dido tuh rese banget Frey. Dulu sih waktu PDKT, dianya baik banget ma aku. Romantis banget. Pokoknya charming lah. Tapi sejak gue ma dia jadian, dianya jadi berubah 180o . Udah sikapnya tengil banget, kurang ajar lagi. Yang paling nggak sopan, dianya berani beraninya godai cewe lain pas lagi jalan ma GUE! Emang gue dianggap apaan ma dia?! Nyebelin banget gak sih… sejak jalan ma anak anak HIMA tuh…apalagi ma yang namanya Daniel. Wah, playboy cap kecoa nungging deh. emang pada setan tuh anak anak HIMA. Ngerusakin cowo orang aja…” cerita kak Mira panjang lebar. Hati Freya mendadak bergetar begitu mendengar kata kata kak Mira. Apalagi menurut kak Mira, Daniel itu playboy cap Kecoa Nungging. Wah,…
“Kak Mira coba ngomong aja dulu ma kak Dido. Kalo dia-nya nggak mau tahu, apalagi kalo sikapnya semaik menjadi jadi, tinggal aja. Biar tau rasa dianya. Enak aja mainin anak orang sembarangan…Enak gitu kan, daripada makan ati…” Jawab Freya ikut ikutan emosi.
“Tapi Frey, aku btuh sayang banget ma dia… aku nggak bisa idup kao nggak ada dia. Dia tuh cowo yang paling oke lah kalo menurut aku. Kira kira gimana ya cara buat dia ngerti kalo aku sayang banget ma dia?” Kejar Kak Mira lagi, kali ini dengan wajah yang lebih melas. Persis kaya anak kucing minta dipiara. (>:P)
Huff… Freya jadi bingung mau ngomong apa. Gara gara cinta, kak Mira yang primadona kampus aja takut ninggalin Dido, cowok antic-nya yang jelas jelas udah menyengsarakan dia lahir-batin. Freya jadi mikir, apa emang segitunya racun para cowok? Wah, kalo beneran bahaya juga. Gimana ceritanya tuh kalo Freya, ratu cinta kampus, jadi jatuh cinta ma orang yang salah, sampe hidup menderita hanya gara gara nggak bisa ninggalin orang itu. Wah, apa juga bakal kejadian kaya Kak Mira ya?

untitled

malam jatuh.
menimpa jalan dan pepohonan di depan kafe.
merubuhi para pejalan kaki yang semakin lama semakin berani menampakkan percikan nafsu yang dikemas sebegitu rupa sehingga menyerupai sepotong cinta yang manis dan berharga.
kualihkan pandanganku menuju sudut kafe.
menatap seorang gadis dengan mini dress hitamnya.
cantik, pikirku.
perlahan ku hampiri mejanya.
"mau pesan sekarang?" tanyaku hati-hati. entah mengapa, tapi aku tak ingin mengagetkannya.
aku tak ingin merusak ekspresinya saat dengan dia menyusuri trotoar depan kafe dengan mata lebarnya.
"strawberry cheese cake dan cappucinno satu" ucapnya ringan, lalu kembali tertunduk. mungkin menatap ujung sepatunya, mungkin juga mencari cahayanya yang hilang senja itu.
dua jam berlalu.
gadis muda, pria, dan para pasangan datang dan pergi.
tapi gadis itu masih tetap disana.
entahmengapa, aku jadi tertarik padanya.
pada senyumnya yang terlontar saat aku mengantarkan pesanannya.
gadis itu tenang, tak nampak gelisah.
sedang menantikah dia?
sedihkah?
apa yang sedang ditunggunya?
malam melebur.
angin dingin yang tadi malu-malu menyapa kini tak lagi sungkan menyapukan belaiannya ke jalan dan pepohonan.
menghembuskan belai lembutnya ke pucuk-pucuk daun dan awan yang menggantung.
membimbing titik-titik penerjun muda meluncur melalui pohon. lampu. rambut, payung. kulit..
dan aku semakin tertarik padanya.
dengan tatoo kupu-kupu yang terpeta manis dekat tengkuknya.
aku tertarik padanya.
pada lengannya. matanya. bibirnya. lehernya. dadanya. pinggangnya. kakinya. rambutnya yang digelung tinggi diatas kepala.
aku kembali menghampirinya. entahlah, mungkin mencoba bicara dengannya.mungkin...
dan gadis itu kembali tersenyum padaku. menceritakan banyak hal. membagi banyak mimpi. lalu menghilang.
dan aku pun terbangun. mengerjap-ngerjapkan mata sembari mengumpulkan nyawaku.
dan aku pun mengingatnya.
mengingat gadis dengan cepol tinggi diatas kepala dan tatoo kupu kupu didekat tengkuknya.
sontak mataku mencari sisa sisa bayangannya diantara sudut sudut meja yang tertata.
nihil, aku tak menemukan kemana perginya langkahnya.
namun aku menemukan sesuatu.
aku menemukan sekotak cinta.
ya, sekotak cinta di ujung meja.