Minggu, 22 Februari 2009

Senja

Senja dan secangkir kopi di atap apartemenku.
nyaman rasanya, setelah seharian bergelut dengan kesibukan harianku.
menyesap kopi sambil memandangi padatnya jalanan pinggir kota di bawahku.
menatap satu per satu orang yang lalu lalang dengan kesibukan masing masing, yang seolah tak perduli satu sama lain.
Otekku kembali memutar cerita lamaku dengan Mario.
Seorang pria tampan dengan tubuh atletis dan pekerjaan yang mapan.
Dulu, Ia yang menemaniku menyusuri trotoar jalan itu.
Ia yang dengan senang hati menggandeng tanganku.
Menuntunku menyusuri lorong demi lorong menuju dunia yang bahkan tak kupahami maknanya saat itu.
Menenggak gelas demi gelas minuman hingga aku semakin mabuk dalam pelukannya.
Tak lama, hanya sebentar.
Hanya sebentar,sampai aku menyadari dia telah meninggalkan bebek buruk rupa dengan sebelah sayap yang patah sendirian di antah berantah.
Hingga aku tertatih-tatih sendiri untuk kembali.
kembali ke duniaku yang nyaman dan jauh dari gangguan.
Kembali membenamkan wajahku yang sembab karena terlalu sering menangis dalam pelukan seorang gadis ketuurunan Afrika yang penyabar.
Yang dengan sangat setia mendengar keluh kesahku tentang Mario.
Tentang banyak hal.
Yang dengan lembut membelai rambutku yang kusut dan berantakan.
Tak peduli bahkan jika aku mengentuk pintunya jam 3 pagi hanya karena aku kembali teringat tentang Mario.
Rei, begitu aku biasa memanggilnya.
Tanpa embel embel apa apa.
Si Rei Kecil, begitu aku menjulukinya.
Menjuluki gadis manis berkulit mocha dengan rambut sebahu yang tak pernah bosan dengan cepol atau kuncir duanya.
Aku tidak yakin berapa persisnya usianya.
Sama tak yakinnya dengan arti senyuman tipisnya atau sekedar riak riak kecil di mata lebarnya.
sudah cukup lama aku berteman dengannya
dengan gadis berkulit mocca yang jarang aku dengar suaranya.
aku tak ambil peduli dengan apa yang orang bilang tentangnya.
aku tak ingin mengusik privacy-nya.
terserah kata orang dia wanita jalang, seniman, atau mungkin pengangguran dengan warisan segudang.
Ya, aku memang beda.
itu selalu yang dijawabnya tiap kali aku mengatainya aneh, atau sekedar memancing gelombang di mata cokelatnya yang teduh.
aku juga, batinku.
Aku juga orang yang aneh.
Aku tak biasa.
Karena itu kamu bisa memahamiku.
Karena kita berdua sama sama aneh dengan hubungan pertemanan yang aneh juga.

Percobaan cintaku yang kedua kujalani dengan Tyo.
eorang pria mapan yang bekerja di kantor berita terkemuka ibukota.
dia sama denganku.
berdua kami suka berlama lama memandangi bintang.
atau menunggui hujan yang menderas dengan secangir cokelat hangat dan pelukan mesra yang memabukkan.
sejenak aku terbuai dalam mimpi indah yang kupikir takkan ada habisnya.
namun cintaku kembali kandas ketika akhirnya Tyo menyerah dan memilih untuk menikah dengan gadis pikihan ibunya daripada merajut mimpi kami yang manis, namun berbahaya.
dan aku pun kembali terluka.
sudah tak ada lagi gadis manis yang bisa mengelus rambutku saat aku menangis.
sudah tak ada lagi susu cokelat yang mengepul hangat sebagai teman saat aku mencurahkan semuanya.
karena itu aku memilih kopi.
dengan rasa asam-manisnya yang khas, bagiku itulah gambaran hidup.
malam sudah semakin larut.
secangkir kopi buatan cofee maker sudah tandas dari tadi.
sementara rokok cappucinno-ku sudah mencapai batang ke 7.
air mataku sudah serasa habis, tertumpah mengiringi penuturanku.
sekarang izinkan aku pergi, karena aku ingin sendiri.
selamat malam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar