Kamis, 26 Februari 2009

dreams for fairytale

Hujan yang turun sejak tadi membuat suasana senja ini terasa lebih kelabu dari biasanya. Aku yang baru saja membuka café-ku pun masih enggan beranjak dari salah satu bangku yang sengaja ku jajar di tepi jalan senja itu. Lampu jalan yang menyala seadanya membuatku makin enggan bangkit, kalau saja mataku tak menemukannya. Seorang perempuan dengan gaun hitam yang anggun, yang mungkin sejak lama berdiri disana. Kulit putihnya yang mulus tampak pucat karena dingin yang beku dengan leluasa menjelajahi tengkuk dan kakinya yang terbuka, sementara bibirnya yang berploles lipstick peach terkatup beku. Aku tak tahu apa yang selama ini dipandanginya. Matanya yang indah hanya menatap kosong ke jalanan yang lengang, sementara rintik hujan sesekali memantul ke ujung sepatunya. Tangannya nampak bergetar menahan dingin yang semakin lama semakin terasa menyebalkan. Mungkin mengatupkan tangan saja tak cukup untuknya melawan dingin yang menyiksa. Aku terusik dengan keadaannya. Jadi kuputuskan saja untuk menawarinya berteduh di sidewalk café-ku, mungkin secangkir cappuccino atau mocca latte akan sedikit memberi rasa hangat untuknya.
Aku tak tahu harus memulai dari mana. Tiba tiba saja aku kehilangan kata kata saat matanya bertemu pandang dengan mataku yang berpayung beberapa meter darinya. Matanya tidak menatapku sinis, juga tidak mengiba. Matanya hanya bertanya. Pertanyaan yang aku sendiri pun bingung harus kujawab apa. Tiba tiba segalanya terasa datar, sedater matanya yang melemparkan sebuah tanya padaku.
“Saya Lintang, yang punya sidewalk café disitu. Apa kamu menunggu seseorang?” kataku. Setiap kata sengaja kuucapkan dengan lambat, karena mungkin saja perempuan itu tak bisa memahami kata kataku. Entah mengapa, tiba tiba saja aku merasa seperti maniak aneh yang biasa menggoda gadis gadis muda yang tengah berjalan sendirian seperti dia. Aku jadi agak jijik dengan diriku sendiri. “Kamu boleh duduk disana, kalau kamu mau…”
Perempuan itu masih membisu. Matanya masih saja menatapku dengan tanya. Tiba tiba saja aku merasa semua yang kutakutkan terjadi. Perempuan itu tak memahami bahasaku. Mungkin dia memang bukan orang Indonesia seperti aku. Mungkin aku salah menyapanya. Mungkin sekarang Ia berpikir bahwa aku adalah orang Indonesia aneh, bodoh dan menakutkan. Dan mungkin saja sebentar lagi Ia akan berteriak, dan orang orang akan datang mengerumuni kami berdua. Dan besok fotoku akan terpampang besar besar di halaman pertama Koran lokal sebagai orang aneh yang suka mengganggu perempuan yang berdiri sendirian di dekat café-ku. Sebaiknya kuluruskan dulu masalahnya sebelum semuanya menjadi semakin buruk.
“Sorry. I thougt that you’re Indonesian. So I speak in Indonesia. My name is Lintang, the owner of that sidewalk café. You can sit there if you want. Are you waiting for someone or…” dengan cepat kata kata itu meluncur dari bibirku. Aku tak mau ada keributan didepan café-ku. Ini sudah ketiga kalinya aku terpaksa berpindah tempat untuk tetap menjalankan usahaku. Kalau sampai terjadi keributan sekali lagi, bukan hanya dilarang membuka café disini, bisa bisa aku dideportasi ke Indonesia. Kalau sampai itu terjadi, bagaimana dengan kuliahku yang sebentar lagi selesai? Juga Clara, kekasihku yang rencananya akan kunikahi begitu aku menyelesaikan desertasiku dan membawa pulang ijazahku, mimpi kedua orang tuaku.
“Nggak papa. Aku memang orang Indonesia kok. Tapi bukan asli Indonesia. Namaku Sekar…” akhirnya keluar juga kata kata yang sekian lama aku tunggu meluncur dari bibir berpoles lipstick peach itu. “Kita ngobrol disana aja, kalau kamu nggak keberatan” sorot matanya yang melunak membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tidak salah menyapanya.
Namanya Sekar. Dan dia memang orang Indonesia, seperti yang sudah aku duga. Menurut pengakuannya, Ia belum lama berada di kota ini. Dan mungkin menang tak lama. Pekerjaannya sebagai fotografer freelance membuatnya tak pernah lama tinggal di suatu tempat. Sementara kuliahnya di salah satu universitas swasta terkemuka di kota ini tak pernah mengharuskannya hadir dan mengikuti pelajaran sebagaimana layaknya mahasiswa di Negara asalku, Indonesia.
“Ini ekspedisi patah hati…” gumamnya pelan setelah menyeruput mocca latte yang baru kuhidangkan untuknya. Sedikit rona merah terbayang di wajah pipinya saat uap mocca latte itu menyapu wajah pucatnya. “Kota ini menyimap banyak kenangan buatku dan dia. Aku tak pernah bisa berlama lama tinggal di kota ini, karena rasanya setiap tembok, awan, angin, bunga, juga hujan terus terusan meneriakkan namanya. Menghidupkan kembali kenangan kenangan tentangnya yang selama ini berusaha kukubur dalam dalam…” kata katanya terasa ringan dan bersayap, terbang dan hinggap ditelinganya, juga telingaku. Ada sedikit nada kekecewaan dalam kata katanya. Sementara gumpalan air mata mulai memenuhi matanya sayunya yang lelah. Aku tak tahu lagi harus bicara apa.
“Haha, buat apa membicarakan cerita lama. Sudah lupakan saja, tak ada gunanya juga kamu tahu tentang dia. Mungkin malah membuat kamu semakin takut padaku. Ngomong ngomong, tadi aku menakutimu ya? Maaf ya…” katanya sambil terkekeh pelan. “sudah, sekarang ceritakan saja tentang kamu..” lanjutnya, sambil menatap tajam ke manik mataku yang masih asyik menikmati keindahan yang tersaji dihadapanku. Aku tak akan munafik, aku laki laki normal. Wajar saja kalau aku suka berlama lama menjelajahi seluruh tubuhnya dengan mataku. Semuanya Nampak begitu sempurna, seperti patung pualam yang dipahat dengan sempurna dan penuh perasaan.
“Ehm, yaa…” aku tak tahu harus bicara apa. Aku biasa saja. Hanya mahasiswa perantauan yang cukup beruntung. Berkesempatan kuliah sambil membuka usaha kecil kecilan untuk mengisi waktu luang. Mungkin setelah desertasi-ku selesai, aku akan menikah dengan Clara, teman sekelasku disini. Mungkin kami akan pulang sebentar ke Indonesia, lalu menetap disini. Ya, doakan saja semuanya lancar…” entah mengapa tiba tiba saja hal itu yang meluncur keluar dari mulutku. Padahal biasanya tak semudah itu aku berakrab akraban dengan orang asing. Lagipula menurutku pernikahan bukanlah hal yang pantas dibicarakan dengan seorang perempuan yang sedang patah hati seperti dia.
“Wah, selamat ya…” diluar dugaan, Ia malah mengangkat gelasnya dan mengajakku ber-cheers untuk keberuntungan yang kumiliki dengan Clara. “Namanya cantik, pasti secantik orangnya. Kamu laki laki yang beruntung” katanya. Aku menagkap sedikit nada sinis dalam ucapannya barusan. Tak apa, aku bisa memahaminya kok. Mungkin Ia iri dengan Clara-ku yang tak perlu berkeliling dunia untuk mengobati sakit hatinya seperti dia. Mungkin juga Ia iri padaku yang nampaknya punya segalanya yang baik, semetara Ia harus bersusah payah mengumpulkan keping demi keping kisah hidupnya yang terserak kemana mana. Tak apa, toh aku juga salah membicarakan hal ini dengannya.
Mata sayunya kembali berembun, sementara hujan yang turun sepertinya belum ingin berhenti mengunci kami berdua dibawah payung ini. Beberapa kali kulihat Ia mengerjapkan matanya, mungkin berusaha mengusir air mata yang datang begitu saja mengganggu pandangannya. Aku hanya bisa diam dan menanti apapun yang akan terjadi selanjutnya. Aku tak ingin bicara. Aku takut menyinggungnya sekali lagi.
“Kamu nggak papa?” tanyaku pelan. Entah mengapa tiba tiba aku mengkhawatirkannya. Aku juga tak tahu kenapa aku harus mengkhawatirkannya. Rasanya Ia terlalu kuat untuk ku khawatirkan. Aku jadi merasa bodoh.
“Aku baik baik saja. Hanya saja nama itu membuatku teringat akan gadisku…” Ia sengaja menggantung kata katanya. Mungkin Ia menanti reaksiku, apa saja, sebelum Ia memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikan ceritanya. Aku hanya bisa menatapnya. Sudah terlalu banyak kejutan yang Ia berikan untukku hari ini. Aku tak menyangka, sebaris kata kataku membuatku memasuki pusaran mimpi mimpinya yang masih mengejawantah mencari satu kepingan yang hilang terbawa gadis sari masa lalunya.
“Namanya Ciara. Mirip nama kekasihmu kan?” katanya sambil tertawa pelan. Entah mengapa, aku merasa tawanya kali ini mirip tawa penyihir jahat yang bangkit dari dongeng masa kecilku, yang berencana menghancurkan kebahagiaan sang pangeran dan putri-nya hingga kekuatan cinta memenjarakannya selamanya dalam buku buku bergambar usang milik keponakanku yang sampai sekarang masih sering dibacanya sebelum tidur. Aku jadi begidik sendiri. Tanpa sadar aku mengusap usap tengkukku yang sepertinya baru saja dilintasi angin dingin yang aneh. Kini aku merasa ada semacam aura menyeramkan yang berpendar di sekelilingnya.
“Kamu takut padaku?” tanyanya tiba tiba, seolah Ia bisa membaca pikiranku dengan mudah seperti membaca buku yang terbuka. Aku menggeleng pelan. Aku tak yakin dengan apa yang kurasakan. Aku memang takut padanya. Ia membuatku seakan terputar putar dalam pusaran angin yang berdebu hanya dengan bicara dengannya.
“Haha, taka apa kalau kamu memang takut padaku. Akui saja, toh aku memang menakutkan ‘kan? Berkeliaran ditengah hujan dengan gaun hitam pendek. Seperti penyihir dalam buku cerita anak anak, hanya mungkin gayaku lebih modern dari mereka…” katanya ringan. Lagi lagi Ia mengucapkan dengan tepat apa yang kupikirkan.
“Ah, enggak kok. Biasa aja. Lalu, bagaimana dengan Ciara-mu?” elakku cepat, sambil mencoba mengalihkan pembicaraan. “Apa kamu masih sering merindukannya?”
“Ciara…” katanya separuh bergumam. Matanya menatap kosong kedalam cangkir mocca latte yang sudah separuh kosong, sementara bibirnya menyunggingkan senyum yang aneh sepanjang ceritanya. “Dia yang membuatku jatuh cinta. Dia yang pelan pelan membuatku memasuki dunianya yang tak berujung, seperti alice in wonderland yang mengikuti kelinci pesta yang melompat kedalam lubang pohon, dan akhirnya tersesat didalamnya. Berdua kami menikmati dongeng compang camping yang kami bangun bersama. Kami tak pernah peduli dengan pandangan orang orang disekitar kami yang mungkin mulai mengendus keanehan dalam hubungan teman sekamar kami di asrama putri SMA-ku dulu. Ciara…” Ia berhenti sebentar, sementara matanya yang makin basah kini menatap langit, sambil mengerjap pelan, berusaha mengusir air mata yang lagi lagi datang mengganggu ceritanya. Aku pun larut dalam sisi lain dongeng masa kecil yang Ia suguhkan padaku.
“Kami berhasil menyimpan kisah cinta kucing kucingan kami dengan rapi sampai aku berhasil lulus dari SMA putri yang mempertemukanku dengannya. Segalanya berjalan dengan sempurna, sampai suatu saat orang tuanya memergoki kami berdua bermesraan dalam kamarnya” mata lebarnya yang sayu itu kini beralih menatap mataku. “Kamu tahu apa yang terjadi berikutnya?” seperti seorang bocah umur lima tahun yang terbius dengan dongeng yang manis, aku menggeleng pelan. Ia tampak puas dengan jawabanku, lalu kembali melajutkan ceritanya.
“Tanpa banyak bicara orang tuanya langsung menyeret kami berdua ke ruang tengah, lalu dimulailah opera itu…” Ia kembali berhenti sejenak. Entah mengapa, kisahnya yang sama sekali tak manis itu membuatku terpikat, hingga aku tak bisa berhenti sebelum mendengar ujung ceritanya yang berliku liku. “Orang tuanya sangat malu dengan kelakuan kami berdua. Tanpa pikir panjang lagi, mereka memaksanya menikah dengan laki laki pilihan orang tuanya. Laki laki yang aku yakin tak lebih baik dariku yang dengan tulus mencintai putri tunggal mereka…” aku masih menatap kagum padanya. Sementara malam semakin pekat, dan hujan semakin mederas membasahi jalanan yang terbentang sepi disamping kami.
“Mati matian aku berusaha membelanya dihadapan orang tua dan keluarga besarnya. ‘Menikahkannya dengan laki laki yang bahkan belum pernah dikenalnya tak akan menyelesaikan masalahnya’, begitu kataku waktu itu. Tapi sepertinya keluarganya sudah terlalu shock dan marah hingga mereka tak bisa lagi mendengarkan siapapun. Apalagi mendengarkanku yang noabene telah membuat anaknya jadi seorang aneh seperti itu…” Hubungan yang ‘tak sepantasnya’, yang ditentang keluarga besar mereka berdua, membuat mereka berdua nekat datang datang kemari untuk melegalisasi cinta mereka,simpulku sendiri. Tapi sepertinya cinta mereka tak cukup kuat untuk membuat mereka terus bersama selamanya…
“Aku berjuang sendiri disini, bekerja sambil kuliah untuk terus menghidupi dia dan masa depan kami yang nyalanya semakin redup diredam keadaan. Aku tak pernah menyangka sore itu dia akan meninggalkanku dengan cara yang benar benar menyakitkan. Dia bahkan tak sempat mengucap kata perpisahan buatku. Dia hanya pergi dengan cara yang misterius, sama seperti caranya datang dengan misterius ke hidupku yang sepi…”
“Kamu tak berusaha mencarinya?” aku sendiri tak tahu kenapa tiba tiba kata kata itu meluncura dari bibirku. Ia mengalihkan matanya dari cangkir mocca latte yang hampir kosong lalu menatap mataku dengan senyum mengejek.
“Mencarinya? Mencarinya katamu? Apa menurutmu aku tak mencarinya dengan keliling dunia seperti ini? Dengan menyusuri jalan demi jalan yang sepi, berharap suatu saat aku akan menemukan jejaknya dan kami akan kembali bersama, mengakhiri kisah ini dengan happy ending seperti dongeng dongeng yang biasa kudengar dimasa kecilku, begitu?” tiba tiba saja nada suaranya meninggi, jelas dia tersinggung mendengar kata kataku. “ah, sudahlah…”
Hujan mulai reda, sementara malam makin larut. Aku tak pernah ingin beranjak, kalau saja perempuan itu tak beranjak dari kursinya, lalu meninggalkan sejumlah uang dan senyuman yang menggantung aneh di bibirnya…
***
“Lintang, wake up! It’s late, you have to sleep. Don’t push yourself too hard like this…” kata kata Clara yang baru saja pulang dari kuliah malamnya membuatku tersadar dari pusaran mimpi yang hampir saja menelanku bulat bulat kedalamnya.
“Mmh… I have to finish this story first” kataku, lalu bersiap menulis lagi.
“No, you don’t have to. You have to sleep now. You can finish it tomorrow. Come on…”
“But…”
“Don’t arguing me, Lintang! Turn off your computer and go to your bed, right now!” aku tak sanggup melawan Clara yang dengan tegas memaksaku beristirahat, sementara dengan cekatan Ia menyimpan tulisanku, lalu tanpa ampun mematikan komputerku. Aku masih sempat melirik sebentar kedalam layar computer yang gelap, sebelum Clara mematikan lampu ruang tengah dan mendorongku keluar dari sana.
Aku masih sempat terjaga beberapa ment sebelum mimpi mimpi tentang Sekar kembali membawaku kesana. Ah, andai saja aku sempat menulis sedikit kaliam penutup untuk kisahnya, mungkin Sekar tak akan selamanya berkelana dalam dunia kata kata, mengumpulkan mimpinya yang terserak, lalu menyusunnya dengan hati hati untuk dirinya sendiri. Mungkin… Akhirnya aku kembali terlelap dalam mimpi.
… and they live happily ever after.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar