Kamis, 26 Februari 2009

freya

Namaku Freya.
Sejak lahir, aku tidak mendengar dan tidak bicara.
Duniaku sepi tanpa suara, tapi aku tetap menyukainya.
Aku menamakan duniaku sebagai dunia penuh warna.
Setidaknya, aku masih menggambar dan menulis untuk berkomunikasi.
Aku memiliki seekor anjing dobermen berwarna coklat emas bernama bruno.
Selama ini, Bruno-lah satu satunya teman seperjalananku yang paling setia.
Ya, aku memang suka berjalan-jalan.
Menyusuri pantai, menangkap cahaya matahari atau menyapa deburan ombak yang malu malu menjilati kakiku.
Atau terkadang mengayuh sepedaku menyusuri pasar malam yang hampir setiap senja digelar di jalanan depan rumahku.
Aku suka menangkap wajah-wajah letih namun bahagia mereka yang tersenyum, bicara, tertawa...
kadang aku iri dengan kelebihan mereka.
Mampu mendengar suara, bicara, bercerita satu sama lain dengan cara yang lebih mudah daripada yang harus aku lakukan.
Mungkin bila esok pagi aku bangun dan mendadak bisa bicara, aku akan bicara tanpa henti seminggu penuh.
menceritakan bagaimana sepinya dunia tanpa kata kata yang selama ini aku tinggali.

Karena seringnya aku berkeliaran disana, beberapa orang sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku yang sepi.
Termasuk juga beberapa seniman tatoo dan cowok-cowok rastafarian yang sering duduk-duduk di ujung jalan, sekedar mengobrol, atau menjalani malam bersama.
Aku menyukai mereka. menyukai sikap mereka yang menyenangkan. Menyukai tatapan mata mereka yang terasa bersahabat buatku.
Beberapa dari mereka bahkan mengenalku dengan baik, sebaik ayah yang selama ini sangat menyayangiku.
Mereka menamaiku Ariel, seperti nama seekor putri duyung cantik yang rela menukar suaranya dengan sepasang kaki agar bisa berjalan berdampingan menyusuri pantai sore hari dengan pangeran tampan pujaannya.
Aku tersenyum sedikit ge-er dan mengatakan pada mereka bahwa hal itu terasa aneh buatku ketika mereka mengatakannya padaku pertama kali.
Tapi nyatanya semalaman aku memikirkannya.
Membayangkan jika seandainya diriku adalah Ariel, si putri duyung cantik yang rela menukar suaranya demi sepasang kaki jenjang yang indah demi memikat pangeran tampan pujaannya.
Relakah aku menukarkan suaraku dengan sepasang kaki agar aku bisa berjalan?

Patty, begitu namanya.
Atau setidaknya begitulah teman temannya memanggilnya.
Dia juga termasuk salah satu cowok rastafarian yang sering kutemukan melamun di ujung jalan hampir setiap malam.
Kadang aku juga menemukannya sedang memetik dawai dawai gitar dengan penuh perasaan, atau menggambar dengan mimik wajah serius diatas tubuh kliennya.
Aku sering membidikkan lensa kameraku ke arahnya ketika ia sedang bekerja.
Entah mengapa, aku sangat menyukai ekspresinya saat menggambar diatas tubuh kliennya.
Ekspresinya, terasa berbeda.
Kata mereka, bukan tidak mungkin kalau aku menyukai Patty, hanya mungkin belum menyadarinya.
Aku tahu wajahku memerah seketika saat mereka mengatakannya.
Rasanya memalukan, karena mereka bahkan tidak mengejek atau menggodaku karena menyukainya.
Aku senang berada diantara mereka, karena dari sedikit orang muda yang memahami aku, gadis dengan keterbatasan kemampuan berkomunikasi, mereka masih mau memahamiku dan tidak menganggap keterbatasanku itu mengganggu.
Mereka bahkan menghargai pemikiran pemikiranku yang unik, kadang terlontar begitu saja, namun terasa menarik bagi mereka.
Aku menyukai mereka.Menyukai pujian demi pujian yang mereka lontarkan begitu saja padaku.
Mereka bilang aku cantik.
Bukan. Mereka bilang aku eksotis, tepatnya. Aku nggak paham apa maksudnya.
Aku pikir perempuan semua perempuan kan juga seperti itu.
Begitu artistik namun juga sedikit ironis.
Ah, itukah aku?

Kadang aku merasa asing dengan duniaku.
Dunia yang sepi yang mungkin hanya kutinggali sendiri.
Menggelikan.
Lucu rasanya jika membayangkan hal itu.
Kamu tau rasanya tinggal di duniaku?
Rasanya begitu hampa.
Begitu sunyi.
Begitu dingin.
Beku.
Tapi cukup menyenangkan buatku.
Buat seorang gadis yang tak lagi butuh suara untuk berkata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar